Februari
“Aku tunggu di Kafe Pelangi jam 5 sore yaa.”
Seperti itulah sms nya setiap hari kamis sepulang sekolah. Pesan singkat
yang terlewat biasa, namun terasa berkesan dan membuatku ingin selalu tersenyum
membacanya. Entah mengapa wajahnya yang seperti pelangi selalu membuatku
bahagia. Aku seperti memiliki semua warna dalam hidupku. Aku seperti merasa
bahwa dia hadir dalam setiap senja yang tak terkatakan indah dalam ujaranku.
Aku merasa seperti Cinderella saja…
Sudah lebih dari setahun aku memilikinya. Bersandar padanya ketika aku
merasa gelisah dan lelah. Banyak cerita yang membuatku terus bersikap tegar dan
ceria, serta banyak rona air mata yang mengalir karena kekecawaannya
terhadapku. Aku sangat mencintainya sekarang dan entah sampai kapan lagi aku
sanggup mempertahankan rasa cinta ini untuknya. Namun, yang kuinginkan semoga
dia selalu ada. Bukan hanya sebagai seorang kekasih, tapi sekaligus kakak dan
juga sahabat. Februari… aku benar-benar merindukanmu hari ini!
Kafe pelangi adalah tempat aku merenda rindu bersamanya. Bersamaan dengan
tarian angin di senja Jakarta, aku melihat pelangiku. Senyuman yang sama. Wajah
dan tubuh yang sama. Serta tatapan yang juga sama. Aku memandangnya dengan
seksama, merasakan setiap sensasi kerinduan yang saat ini kualami dengannya.
Ternyata aku baru sadar banyak sekali cerita terkemas saat bersamanya. Dengan
derasnya cerita… aku menjalani sebuah kisah klasik masa remaja yang membuat
siapa pun ingin merasa bahagia dan bahagia.
“Kenapa?”
Pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku kearahnya. Hari ini ia memang
agak aneh, dia hanya diam. Seperti biasa… pasti terjadi sesuatu padanya.
Pertanyaan ini mungkin akan percuma, karena setelahnya aku langsung dapat
menebak apa jawaban yang akan dilontarkan padaku. Tapi aku masih berusaha
menanyakannya… siapa tahu saja hari ini ia mau menjawab pertanyaanku tersebut.
“Nggak apa-apa kok!”
Lagi-lagi… sangat sesuai dengan jawaban yang kutebak. Aku bersandar di
bangku, sedikit menghela nafas. Ini adalah salah satu keadaan yang paling tak
kumengerti. Lagi-lagi aku salah!
Gerutuku dalam hati. Rasanya dirinya memang seperti teka-teki bagiku. Dia
seperti sebuah sistem yang tak pernah membuatku langsung menemukan jawabannya.
Aku harus berpikir lagi, lagi dan lagi untuk menemukan jawabannya sendiri. Agak
menyedihkan. Tapi hal inilah yang selalu kulakukan selama lebih dari setahun
saat dirinya bersikap diam dan tak ingin menjelaskan alasannya bersikap seperti
itu.
Aku lalu memutar otakku ke hari sebelumnnya. Mencoba me-refresh kembali apa yang kulakukan
bersamanya kemarin. Sepertinya tidak ada masalah. Seperti biasanya, dia
menelponku dan kami banyak bercerita tentang kegiatan kami seharian. Lalu? Aku
meloncat lagi ke hari sebelumnya setelah kemarin. Persis, tak ada kesalahan
satu pun yang membuatku harus meminta maaf dan memperbaikinya… Jadi bagaimana?
“Annisa?”
“Iya!” Jawabku dengan nada yang tegas. Agak kaget sebetulnya karena
sebelumnya aku sedang asyik mengingat-ingat apa yang terjadi di hari-hari
sebelumnya.
“Kita putus aja!”
Deg! Rasanya jantungku ingin berhenti. Memang tak sekali atau dua kali ia
menyatakan ini. Sering kali bahkan. Tapi, mengapa hari ini berbeda? Mengapa aku
langsung ingin menagis? Aku kemudian menatapnya, entah apa yang tergambar di
mataku yang mungkin telah sayu, namun aku menyampaikan sesuatu padanya. Aku tak
ingin putus. Aku sangat mencintainya sekarang. Tapi… dia seperti sudah yakin.
Aku pun menyerah. Lalu dengan wajah yang mungkin sangat buruk, aku
memandanginya. Sudah kubulatkan tekad… mungkin ia menunggu saat ini. Mungkin
dia juga telah lelah menungguku untuk memutuskannya. Mungkin… baiklah kita
putus saja Februari!
“Baiklah, kita putus hari ini!”
Derasnya hujan menemani kesepianku. Petir yang menggelegar seperti ingin
memberikan deskripsi akan keadaanku sore ini. Ya, seperti ini tanpa ada
mendung… aku diputuskan tanpa alasan. Aku menyerah tanpa berseteru dengan
keegoisannya dahulu seperti biasa. Aku entah mengapa seperti juga telah kalah
sebelum berperang. Tak seperti biasanya saja. Aapakah aku mulai lelah juga menghadapi
Februari? Februari dengan sistem paling rumit yang tak pernah kutemui
sebelumnya.
Benar! Dia adalah sistem yang sangat rumit. Yang lainnya akan menganggap
sangat spesial bila diberikan kebebasan untuk terus merasakan indahnya masa
muda, namun Februari? Dia selalu menganggap segalanya harus dipelajari sejak
awal. Mengenal dan bertingkah laku sempurna adalah keinginannya. Segala hal
yang ada pada diriku tak pernah membuatnya merasa puas. Hal-hal kecil yang
menurutnya sangat penting tak ada dalam kamus prioritasku.
Perbedaan yang sangat terlentang lebar. Namun, setahun lebih kami
menjalani semua ini… bukankah baik-baik saja? Hmm… jawabannya memang hanya
satu. Aku lelah. Hanya itu. Selama ini aku mempertahankannya tapi ia sama
sekali tak menghargai usaha lebihku untuk selalu mementingkan dirinya di
hidupku. Aku terdampar saat ini, aku kalah dan aku baru sadar bahwa aku memang
menderita karena telah kehilangannya.
Sahabatku mengetahuinya, setelah Februari mengganti status hubungan kami
di salah satu jejaring sosial. Kami memang mencamtumkan status hubungan yang
sama di jejaring pribadi milik kami masing-masing. Namun, sekarang status
hubungan itu berubah. Bentuknya masih sama, namun tak lagi ada keterkaitan
antara diriku dan dirinya seperti dulu. Ya, tak ada lagi informasi mengenai
dirinya dan dapat ku prediksi seperti mantan-mantannya terdahulu, aku pasti di
blokir dari kehidupannya.
“Tapi statusnya sedih deh, Nis! Lihat nih…”
Sahabatku memberikan telepon genggamnya padaku di jam istirahat. Dari
sana ia mengakses akun pribadinya dan membuka akun pribadi Februari. Di status
akun pribadinya tertulis, “Aku mencintaimu, tapi maaf aku telah melukaimu.”
Sedikit berlebihan, tapi ini bukan seperti dia. Entah apa yang terjadi padanya.
Apa alasannya menulis seperti ini? Jika dia mencintaiku, mengapa harus putus
dan melukaiku? Haruskah dia selalu berpikir rumit? Aku tak pernah mengerti
dirimu. Kamu masih sama, sistem paling rumit bernama Februari Dwi Putra.
Seminggu sudah setelah terakhir bertemu dengan Februari. Sangat
beruntung, karena aku dan Februari tidak satu sekolah. Jadi tidak ada lagi hal
yang harus aku lihat dari Februari. Aku sedang mencoba menenggelamkannya dalam
kenangan meskipun itu sangat sulit. Ya, saat ini masih saja ingin tahu
tentangnya, mengetahui keadaannya atau sekedar mengetahui apakah ia masih ingat
aku atau tidak. Namun, tampaknya tak ada jawaban.
Ia tak seperti biasanya. Tak ada berita apapun darinya. Akun pribadinya
sepi. Ia tak mencoba untuk memperbaharui hal-hal baru yang ia rasakan atau yang
baru saja ia rasakan. Aneh sekali. Ini bukan seperti dirinya. Bukan seperti
dirinya yang selalu suka bercerita tentang hal-hal menarik yang dialaminya.
Tapi mengapa sepi? Mengapa ia tak membuka akun ini selama seminggu?
Pertanyaan demi pertanyaan mengalun deras di otakku seakan aku ingin
segera mengetahuinya. Karena sangat penasaran aku raih telepon genggamku dan
kemudian mencari nomor sahabat Februari yang kebetulan ku kenal. Aku
memberanikan diri untuk menanyakan keadaannya. Daripada aku menderita karena
rasa penasaranku, lebih baik aku membuang segala gengsi dan egoku untuk
mengetahui segala hal tentangnya. Janjiku ini yang terakhir kalinya…
“Bisa ketemu gw nggak di Kafe Pelangi jam 5 sore, hari ini?”
Jawaban singkat dari Rio, sahabat Februari begitu aku bertanya tentang
keadaan Februari. Semakin aneh! Mengapa Rio mengajakku bertemu di tempat yang
tak ingin ku kunjungi? Apakah ia ingin mengembalikan kenangan-kenangan yang
saat ini sedang kucoba untuk ditenggelamkan? Tapi aku sangat penasaran…
Jam lima tepat aku sampai di Kafe Pelangi. Tepat saja, belum masuk kafe
aku sudah merinding. Aura kenangan muncul disana. Ketika aku makan ice cream
bersama Februari dan ketika kita main game bersama di tempat ini. Semuanya
indah… Bodohnya aku mengiyakan saja ajakan Rio untuk bertemu dengannya disini.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah berjanji dan mungkin Rio sudah di dalam
menungguku. Aku pun melangkahkan kaki ke dalam Kafe.
Suasana kafe tak banyak berubah ketika aku membuka pintu. Ungkapan
selamat datang dari petugas kafe dan dinding berwarna pelangi menyambutku
begitu aku melangkahkan kakiku ke dalam. Di tempat duduk yang biasa aku duduki
bersama Februari sudah terduduki dengan manis oleh Rio. Mengapa ia bisa tahu
sampai sedetail itu? Aneh!
“Rio!”
Sapaku padanya. Ia tersenyum dan mempersilahkanku untuk duduk. Ia
menyoderkan menu padaku dan aku pun menulis menu apa yang ingin aku pesan.
Setelah semua itu usai, ia memanggil pelayan dan mengambil menunya. Ia kemudian
menatapku dengan tajam. Ada banyak pertanyaan yang mengartikan bahwa banyak hal
juga yang ingin disampaikannya padaku tentang Februari. Semakin menatap
wajahnya aku semakin penasaran. Dengan nada yang sangat rendah, aku berusahan
untuk mendorongnya berbicara.
“Jadi ada apa?”
Rio kemudian menyodorkan sesuatu. Kali ini bukan menu, tapi sebuah kotak
hitam yang cukup menarik perhatian. Ia memberi semiotik untuk aku menerimanya.
Aku pun menerimanya, membukanya dan melihat isi di dalamnya. Satu buah bingkai
foto, sebuah note, dan sebuah gantungan kecil telepon genggam. Ini adalah
barang-barangku yang sempat hilang… lalu mengapa ada di Rio? BUKAN… ini semua
bukan dari Rio, ini semua dari FEBRUARI!
“Aku hanya seorang kurir! Ini semua harus aku sampaikan pada kamu, ketika
kamu menanyakannya padaku. Aku tau yang kamu tanyakan bukan barang-barang ini,
tapi Febri. Saat ini Febri tidak bisa memberikan ini pada kamu. Ia tak pernah
memberi tahu kapan bisa bertemu dengan kamu lagi atau tidak. Pesannya cuma
satu, jangan pernah ingat dia lagi… bahagialah dengan orang lain, Nisa!”
Aku tak menjawab apapun. Aku hanya tersenyum. Kapasitas Rio memang bukan
seorang penjawab dari pertanyaan-pertanyaan yang saat ini sudah tercetak di
kepalaku. Kapasitas Rio hanya seorang kurir. Aku memang tidak bisa mendesaknya
untuk memberi tahuku tentang semua hal yang tidak ku mengerti. Hanya satu yang
tersirat dari pertemuanku dengan Rio hari ini: Lupakan Februari, dia menyuruhmu
begitu!
Suasana langit mengharu biru,
ketika kamu menutup pintu tempat spesial ini. Tak ada lagi dirimu yang
membuatku tenang dan bahagia. Tak ada lagi dirimu yang membantu dan memberikan
sandaran bahu paling hangat yang tak orang lain miliki. Kamu yang bagaikan
sistem terumit dari semua makhluk bernama pria di hidupku, yang membuatku ingin
berubah dan terus berubah. Tak ada yang membuatku harus mengubah diriku karena
kamu, aku berubah karena waktu dan usiaku yang membuatku harus melakukan itu!
namun, semua itu terlambat… ketika aku berproses, ternyata kamu telah pergi.
Keadaan membuatku lupa bahwa kamu tak selalu bersedia untuk melihat perbaikan
dari diriku. Ya, aku harus belajar bahwa setiap orang punya masa dimana ia juga
lelah dan berhenti untuk menanti sesuatu yang tak kunjung hadir. Maaf!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar