Februari untuk Febri
“Huh…
hujan lagi… hujan lagi…”
Sapaan
indah di awal tahun yang selalu membuatku merasakan dingin yang langsung
membekas di sekujur tubuh. Hujan. Ini semakin terasa ketika memasuki awal
Februari seperti hari ini. Ya… hari ini tepat tanggal 1 dan hujan kembali turun
membasahi Jakarta dengan butiran-butiran embunnya. Seperti biasa juga, aku
bergegas menuju halte bus dekat sekolah, menunggu sebuah bus lewat untuk
mengantarku pulang. Mengingat di rumah menyediakan kehangatan yang aku butuhkan
rasanya aku ingin sekali cepat-cepat sampai.
Namun,
ada hal yang berbeda. Saat tiba di halte itu, untuk pertama kalinya mata ini
menangkap sosok tinggi tegap yang berdiri tepat di sampingku. Dengan nafas yang
masih terengah, mungkin karena beberapa saat yang lalu sosok itu berlari
menerobos percikan derasnya hujan, ia membetulkan kemeja biru tuanya yang
sedikit basah. Setelah itu ia membetulkan rambutnya yang berantakan dan basah.
Kembali rapi, meskipun ia menatanya agak jadul menurutku. Sepersekian detik
setelah ia melakoni ritual merapikan atribut tubuhnya, tiba-tiba saja tanpa
arahan ia menoleh kearahku, memandangku dan kemudian tersenyum. Manis sekali.
Entah
apa artinya, tapi itu kuyakini sebagai simbol sapaan kepadaku karena aku
berdiri di sampingnya. Yaa benar. Tetapi… ada rasa lain yang aneh dalam diriku.
Gejolak yang meminta lebih akan senyuman manis nan lembut itu. Gejolak yang
sebenarnya mengapa ada dan apa alasannya ia ada dalam diriku. Astaga! Apakah
aku jatuh cinta pada seseorang yang baru saja naik bus dan sama sekali tak
kukenal? Ini mustahil. Aku rasa ini bukan aku…
“Cinta
pada pandangan pertama?”
Ucapan
yang paling mengena di hatiku saat saudari kandungku menyimak ceritaku mengenai
si cowok pemilik senyum manis dan halte bus di kala hujan. Yaa, cinta pada
pandangan pertama begitulah kesimpulan yang kudapat dari tanggapannya mengenai
ceritaku. Tapi ini bukan seperti aku, yang sangat sulit jatuh cinta meskipun
beberapa orang sudah memberikan perhatian luar biasa yang tidak diberikan oleh
orang lain. Namun, kenyataannya adalah… aku ingin mencari perhatian cowok itu
agar ia lagi dan lagi memberikan senyuman manis itu padaku.
Tepat
yang dikatakan saudari kandungku. Aku sedang jatuh cinta. Lebih lengkapnya, aku
jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang yang bahkan tidak aku tau
siapa namanya. Hmm… cinta memang membuat siapapun yang terbiasa dengan
kecerdasan pada akhirnya akan mengenal kebodohan. Dan saat ini aku terlihat
bodoh. Bodoh karena aku tidak tau siapa orang yang aku cintai. Bodoh karena aku
harus menunggunya lagi di halte bus setiap hari demi rasa yang aneh di dalam
diriku ini.
Sudah
lebih dari 5 hari aku menunggu di halte bus. Hari ini tanggal 8 Februari… tak
kutemui juga cowok itu di setiap nafas dalam halte bus ini. Hari ini kebetulan
hujan. Namun tidak sederas hari itu. Hujan saat ini sudah mulai reda dan
menunjukkan tanda-tanda bergerak gerimis. Aku duduk di halte yang mulai sepi.
Hari ini entah mengapa hujan seperti menghentikan langkahku untuk pulang.
Kuhitung-hitung lebih dari sejam aku duduk di halte ini, padahal bus yang
kutumpangi sudah belasan kali lewat.
Hampir
menyerah rasanya, namun tiba-tiba langkah lari seseorang terdengar di
telingaku. Seperti hari itu mataku menangkap sosoknya yang tinggi tegap.
Benar-benar mataku ini tak ingin sekalipun melepaskan pandangannya dari sosok
itu. Sosok yang saat ini sedang berdiri di depanku sambil melakoni ritual yang
beberapa waktu lalu ia lakoni. Setelah itu tak seperti waktu yang lalu, kukira
ia akan tetap berdiri dan menunggu bus yang akan ia naiki. Tapi ia justru
mengambil telepon genggamnya dan kemudian duduk di sampingku secara tiba-tiba
saja.
Rasa
gemetar menerpa sekujur tubuhku. Keinginan menyapa tumbuh secara drastis seakan
di pupuk dengan pupuk yang memiliki kualitas A. Gemuruh jantungku berdetak
mengalun persis dengan rangkaian gerak yang dilakoni jarinya di atas keypad telepon genggamnya. Lalu secara
perlahan, aku memberanikan diri untuk menoleh kearahnya, memandangnya lebih
dekat. Namun, seperti serangan tiba-tiba, ia menoleh kearahku dan kemudian
memandangku dengan senyuman itu lagi. Rasanya memaksaku untuk melakukan
gencatan saja… aku kalah.
“Nunggu
bus?” tanyanya tiba-tiba padaku. Hatiku semakin bergemuruh hebat. Aku mencoba
tersenyum, membals senyumannya. Dan setelah itu berhasil seperti sebuah senyum
paksaan aku mencona untuk menjawab pertanyaannya.
“Iya.
Kamu?” tanyaku padanya dengan nada pelan. Takut antusiasmeku kelihatan.
“Iya,
aku juga nunggu bus. Tapi mau sms
dulu. Kamu naik yang jurusan apa?”
Deg. Jantungku rasanya berhenti begitu ia
menanyakannya. Mana mungkin aku jawab jujur? Jika aku jawab yang sebenarnya…
Dia pasti akan bertanya mengapa aku tak naik sejak tadi, mengapa masih duduk
disini sampai saat ini, padahal bus yang akan kunaiki selalu lewat beberapa
menit sekali. Lucu saja jika aku harus menjawab, “Aku sedang menunggumu disini.” Hmm… lebih baik aku berbohong saja.
“Aku
naik 88, yang jurusan Ragunan.” jawabku berbohong. Ragunan? Rumahku saja tidak
di Ragunan… benar-benar kacau.
“Ohhh
kebetulan sekali… itu bus nya. Naik sana, busnya jarang dan penuh kan?”
tanyanya padaku. Benar-benar sial. Ternyata bus yang jarang lewat itu datang
pada saat yang tidak diinginkan. Terpaksa aku mengangguk. Namun, sebelum
berdiri aku memperhatikan name tag karyawan yang dikenakannya. Febri Kurniawan.
Setelah mencuri lihat, aku tersenyum kearahnya dan bergegas menaiki bus yang
entah akan turun dimana diriku ini. Ternyata hari ini aku tak hanya beruntung
bisa mengetahui namanya, namun aku juga sial. Dunia memang selalu berputar.
Hari
selanjutnya aku bersiap-siap menunggunya lagi di halte. Hari ini tak hujan
seperti kemarin… sangat cerah seperti hatiku. Aku sangat senang sejak kemarin
karena telah mengetahui siapa nama si cowok itu. Febri Kurniawan. Nama yang
bagus. Sebagus senyumnya yang sangat manis. Ahhh… rasanya mengingat senyumnya
membuatku ingin ikut tersenyum. Terlebih lagi ternyata dia orang yang sangat
ramah, ini membuatku semakin menyukainya.
Tapi
sama seperti kemarin, sudah sejam ia tak muncul juga. Aku sedikit kecewa. Sudah
terlihat sepertinya hari ini aku tidak beruntung, ia tidak menunggu bus di jam
seperti ini hari ini. Yaa… sudahlah aku sepertinya harus menunggu hujan dulu
baru dapat bertemu dengannya. Hujan bulan februari yang mengantarkanku pada
Febri. Ya ampun… tiba-tiba saja rasanya aku sangat menyukai hujan… cepat
datanglah hujan!
Hujan
akhirnya turun di tanggal 14 Februari. Senang rasanya… bisa bertemu Febri di
hari yang menurut semua orang penuh dengan rasa cinta dan kebahagiaan.
Mudah-mudahan saja ini ikut tertular padaku… ya semoga saja. Dengan rintikan
hujan yang cukup deras, aku berlari menuju halte. Tepat dugaanku dia ada! Dia
sedang duduk di halte sambil memegang telepon genggamnya. Sepertinya dia sedang
sms, seperti yang dilakukannya kemari.
“Hai…”
Sapaku
padanya. Aku tak ingin menyebut namanya. Takut ketahuan aku mencuri lihat
nametag yang dikenakannya. Namun, anehnya hari ini ia tak mengenakan nametag.
Ia juga tidak serapi biasanya. Hari ini ia mengganti celana bahan dan kemejanya
dengan jeans dan kaos yang luarnya dibalut dengan jaket jeans hitam yang
terlihat lusuh. Sepatu pantofelnya pun juga diganti dengan sepatu kets biasa.
Mungkin hari ini dia libur. Tapi, mengapa ada disini?
“Eh…
hai!” sapanya balik sambil mengeluarkan senyum yang lagi-lagi membuat degup
jantungku bekerja dua kali lebih cepat. Dia sepertinya sangat sibuk, karena
setelah tersenyum ia kemudian menunduk lagi, meneruskan sms nya yang tertunda.
Mungkin itu pacarnya. Tebakku dengan rasa penuh kecewa…
“Kamu
telat. Bus ke ragunannya baru aja lewat.” ucapnya tiba-tiba sambil tetap
mengetik sms. Membuatku yang kaget saja.
“Ohhh
iya… tadi aku telat.”
“Hari
ini hujan lagi ya? Selalu ketemu sama si gadis berseragam SMA di kala hujan.
Menarik banget!” ucapnya padaku. Saat itu ia tak lagi menunduk, ia menerawang
ke langit kelabu melihat rintikan hujan yang turun dari langit. Pemandangan
yang indah, terlebih lagi dia juga merasakan momen ini. Momen dimana memang
pertemuanku dengannya hanya pada saat hujan. Hujan di bulan Februari yang penuh
dengan cinta. Seperti yang saat ini kualami.
“Wah…
bus yang aku tumpangi lewat. Duluan yaa!” serunya padaku sambil berdiri. Ia
tersenyum. Senyumnya yang lagi-lagi sangat manis. Setelah itu ia bergegas naik
ke bus. Timbul kekecewaan dalam diriku ketika aku tak melihat punggungnya lagi.
Ketika senyumnya hilang seperti udara dingin yang saat ini menusuk kulitku.
Sakit… ingin rasanya sekali lagi merasakan momen tadi. Momen yang sangat indah.
Cukup
lama tak menemukan Febri lagi di halte. Lebih dari 5 hari jika dihitung. Sangat
lama dan aku sangat merindukannya. Sosoknya yang tinggi dan tegap. Senyumanya
yang sangat manis. Keramahannya yang membuat halte ini terasa sangat hangat
dibandingkan dengan tumpukan selimut, bantal dan guling yang berada di rumah.
Juga matanya yang meneduhkan seakan ada sebentuk perhatian yang membuatku
selalu ingin bertahan lama-lama duduk di sampingnya.
Aku
ingin momen beberapa hari lalu terulang. Momen yang jarang terlewatkan. Momen
yang mungkin hanya saat itu aja dapat terjadi. Momen yang membuatku semakin sadar
bahwa aku memang jatuh cinta pada Febri, sosok yang baru kutemui tiga kali,
namun membekas sangat dalam di hatiku. Yaa… saudari kandungku benar. Aku memang
jatuh cinta, jatuh cinta pada pandangan pertama. Kebodohan yang bagi banyak
orang, tapi ini terasa sangat manis bagiku. Indah…. Hujan kembalilah. Antarkan
aku pada Febri yang begitu kurindukan!
Hujan!
Sejak istirahat pertama berlangsung, aku tak sabar cepat-cepat pulang. Aku
berharap hujan ini akan awet hingga aku pulang dan bertemu dengan Febri di
halte. Dan beruntungnya aku. Hujan masih berlangsung sampai jam pelajaran
berakhir. Bergegas ku buka payung dan aku berlari menerobos keramaian rintikan
air yang turun ke Jakarta siang ini. Akhirnya sampai juga aku di halte. Di kala
hujan, halte memang terlihat sangat ramai oleh orang-orang yang tujuannya
menunggu bus atau sekedar berteduh. Tapi justru inilah momen dimana kita bisa
mengenal seseorang yang secara tak terduga tiba-tiba saja kita cintai.
Aku
memilih berdiri di pojok. Ini tak mengganggu orang-orang yang sedang menunggu
bus. Febri memang biasanya tidak datang secepat ini, maka aku berdiri di pojok
dan menunggunya untuk datang. Sepertinya fungsi dari halte ini diubah oleh
diriku sendiri. Yaa… halte ini tak lagi berfungsi sebagai tempat menunggu bus,
namun tempat dimana aku menunggu cintaku. Cinta yang sulit kutemui, karena
hanya hujan yang dapat membuatku bertemu dengannya.
Cukup
lama juga. Menit demi menit aku menunggu Febri, tapi tak kelihatan sama sekali
bahwa ia akan datang. Setelah hujan sedikit lebih reda, halte mulai kosong.
Tempat duduknya pun mulai kosong. Aku akhirnya duduk. Tetap menunggu Febri...
langit tetap kelabu, rintikan embun siang ini masih turun meski tak deras.
Matahari tertutupi oleh awan kelabu yang selalu kunilai cantik, misterius
sekaligus menyeramkan.
Namun…
ada yang berbeda hari ini. Hujan sepertinya memang tidak mengantarkan
keberuntungan hari ini. Hujan sepertinya tidak membuatku bertemu dengan Febri
hari ini. Kemana Febri? Padahal sudah hampir satu jam aku menunggunya. Biasanya
ia sudah hadir dan mungkin sudah duduk di sampingku sambil mengetik sms
pentingnya. Apa dia tak lagi menunggu bus disini? Apa hari ini dia sakit? Atau
dia memang sibuk dengan pekerjaannya? Berpuluh-puluh pertanyaan timbul di
benakku tanpa ada yang bisa menjawabnya. Aku rindu… sangat rindu. Tapi
bagaimana ini? Kerinduan ini rasanya akan sangat awet karena aku tak kunjung
bertemu dengan Febri.
Sudahlah…
aku sepertinya memang harus menyerah hari ini. Cukup untuk hari ini… lebih baik
pulang ke rumah! Tapi… kok? Mataku membeku ketika menemukan sesosok benda yang
sangat familiar dengan mataku. Benda yang membuatku tau nama seseorang. Nametag
dengan nama Febri Kurniawan di dalamnya. Name
tag yang sama, karena aku tau persis warna dan perusahaan dari si name tag itu. Namun, mengapa bukan Febri
yang mengenakannya? Mengapa orang yang berbeda? Mengapa?
Akhirnya
kudekati pria yang baru saja turun dari bus yang akan kunaiki itu. aku
menyapanya dengan senyuman. Ia sepertinya sangat heran. Mungkin wajahku seperti
orang yang mengenalnya. Tapi diwajahnya tertulis bahwa ia tak mengenalku sama
sekali. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan saat ini adalah mengetahui name tag yang dikenakannya itu miliknya
ataukah milik orang lain.
“Ada
apa ya?” tanyanya.
“Maaf
mas, name tag ini punya mas?” tanyaku
padanya sambil menunjuk pada si name tag.
“Iya…
Saya Febri Kurniawan. Kenapa emangnya? Kamu tidak percaya?” tanyanya padaku.
Mungkin
wajahku memang memasang pertanyaan seperti itu. Dengan sigap ia mengeluarkan
dompet dan kartu identitasnya padaku seperti aku ini pegawai kecamatan yang
memeriksa kartu identitas seseorang. Tapi tepat sekali, namanya memang Febri
Kurniawan. Lalu cowok itu? siapa namanya? Bukan Febri? Jadi… selama ini aku
mengenal nama seseorang secara salah? Aku mencintai seseorang yang bukan
bernama Febri? Jadi, Februari ini bukan untuk Febri? Hah… sudahlah. Biarkan
Februari ini tetap menjadi milik Febri meskipun itu bukan namanya sekalipun.
Namun, aku sudah terlanjur jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang cowok yang
kutemui di halte pada saat hujan. Seseorang yang entah kapan bisa kutemui lagi…
seseorang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar