Senin, 06 Februari 2012

Cerpen Februari untuk Febri


Februari untuk Febri

“Huh… hujan lagi… hujan lagi…”
Sapaan indah di awal tahun yang selalu membuatku merasakan dingin yang langsung membekas di sekujur tubuh. Hujan. Ini semakin terasa ketika memasuki awal Februari seperti hari ini. Ya… hari ini tepat tanggal 1 dan hujan kembali turun membasahi Jakarta dengan butiran-butiran embunnya. Seperti biasa juga, aku bergegas menuju halte bus dekat sekolah, menunggu sebuah bus lewat untuk mengantarku pulang. Mengingat di rumah menyediakan kehangatan yang aku butuhkan rasanya aku ingin sekali cepat-cepat sampai.

Namun, ada hal yang berbeda. Saat tiba di halte itu, untuk pertama kalinya mata ini menangkap sosok tinggi tegap yang berdiri tepat di sampingku. Dengan nafas yang masih terengah, mungkin karena beberapa saat yang lalu sosok itu berlari menerobos percikan derasnya hujan, ia membetulkan kemeja biru tuanya yang sedikit basah. Setelah itu ia membetulkan rambutnya yang berantakan dan basah. Kembali rapi, meskipun ia menatanya agak jadul menurutku. Sepersekian detik setelah ia melakoni ritual merapikan atribut tubuhnya, tiba-tiba saja tanpa arahan ia menoleh kearahku, memandangku dan kemudian tersenyum. Manis sekali.
Entah apa artinya, tapi itu kuyakini sebagai simbol sapaan kepadaku karena aku berdiri di sampingnya. Yaa benar. Tetapi… ada rasa lain yang aneh dalam diriku. Gejolak yang meminta lebih akan senyuman manis nan lembut itu. Gejolak yang sebenarnya mengapa ada dan apa alasannya ia ada dalam diriku. Astaga! Apakah aku jatuh cinta pada seseorang yang baru saja naik bus dan sama sekali tak kukenal? Ini mustahil. Aku rasa ini bukan aku…

“Cinta pada pandangan pertama?”
Ucapan yang paling mengena di hatiku saat saudari kandungku menyimak ceritaku mengenai si cowok pemilik senyum manis dan halte bus di kala hujan. Yaa, cinta pada pandangan pertama begitulah kesimpulan yang kudapat dari tanggapannya mengenai ceritaku. Tapi ini bukan seperti aku, yang sangat sulit jatuh cinta meskipun beberapa orang sudah memberikan perhatian luar biasa yang tidak diberikan oleh orang lain. Namun, kenyataannya adalah… aku ingin mencari perhatian cowok itu agar ia lagi dan lagi memberikan senyuman manis itu padaku.
Tepat yang dikatakan saudari kandungku. Aku sedang jatuh cinta. Lebih lengkapnya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang yang bahkan tidak aku tau siapa namanya. Hmm… cinta memang membuat siapapun yang terbiasa dengan kecerdasan pada akhirnya akan mengenal kebodohan. Dan saat ini aku terlihat bodoh. Bodoh karena aku tidak tau siapa orang yang aku cintai. Bodoh karena aku harus menunggunya lagi di halte bus setiap hari demi rasa yang aneh di dalam diriku ini.

Sudah lebih dari 5 hari aku menunggu di halte bus. Hari ini tanggal 8 Februari… tak kutemui juga cowok itu di setiap nafas dalam halte bus ini. Hari ini kebetulan hujan. Namun tidak sederas hari itu. Hujan saat ini sudah mulai reda dan menunjukkan tanda-tanda bergerak gerimis. Aku duduk di halte yang mulai sepi. Hari ini entah mengapa hujan seperti menghentikan langkahku untuk pulang. Kuhitung-hitung lebih dari sejam aku duduk di halte ini, padahal bus yang kutumpangi sudah belasan kali lewat.
Hampir menyerah rasanya, namun tiba-tiba langkah lari seseorang terdengar di telingaku. Seperti hari itu mataku menangkap sosoknya yang tinggi tegap. Benar-benar mataku ini tak ingin sekalipun melepaskan pandangannya dari sosok itu. Sosok yang saat ini sedang berdiri di depanku sambil melakoni ritual yang beberapa waktu lalu ia lakoni. Setelah itu tak seperti waktu yang lalu, kukira ia akan tetap berdiri dan menunggu bus yang akan ia naiki. Tapi ia justru mengambil telepon genggamnya dan kemudian duduk di sampingku secara tiba-tiba saja.
Rasa gemetar menerpa sekujur tubuhku. Keinginan menyapa tumbuh secara drastis seakan di pupuk dengan pupuk yang memiliki kualitas A. Gemuruh jantungku berdetak mengalun persis dengan rangkaian gerak yang dilakoni jarinya di atas keypad telepon genggamnya. Lalu secara perlahan, aku memberanikan diri untuk menoleh kearahnya, memandangnya lebih dekat. Namun, seperti serangan tiba-tiba, ia menoleh kearahku dan kemudian memandangku dengan senyuman itu lagi. Rasanya memaksaku untuk melakukan gencatan saja… aku kalah.
“Nunggu bus?” tanyanya tiba-tiba padaku. Hatiku semakin bergemuruh hebat. Aku mencoba tersenyum, membals senyumannya. Dan setelah itu berhasil seperti sebuah senyum paksaan aku mencona untuk menjawab pertanyaannya.
“Iya. Kamu?” tanyaku padanya dengan nada pelan. Takut antusiasmeku kelihatan.
“Iya, aku juga nunggu bus. Tapi mau sms dulu. Kamu naik yang jurusan apa?”
Deg. Jantungku rasanya berhenti begitu ia menanyakannya. Mana mungkin aku jawab jujur? Jika aku jawab yang sebenarnya… Dia pasti akan bertanya mengapa aku tak naik sejak tadi, mengapa masih duduk disini sampai saat ini, padahal bus yang akan kunaiki selalu lewat beberapa menit sekali. Lucu saja jika aku harus menjawab, “Aku sedang menunggumu disini.” Hmm… lebih baik aku berbohong saja.
“Aku naik 88, yang jurusan Ragunan.” jawabku berbohong. Ragunan? Rumahku saja tidak di Ragunan… benar-benar kacau.
“Ohhh kebetulan sekali… itu bus nya. Naik sana, busnya jarang dan penuh kan?” tanyanya padaku. Benar-benar sial. Ternyata bus yang jarang lewat itu datang pada saat yang tidak diinginkan. Terpaksa aku mengangguk. Namun, sebelum berdiri aku memperhatikan name tag karyawan yang dikenakannya. Febri Kurniawan. Setelah mencuri lihat, aku tersenyum kearahnya dan bergegas menaiki bus yang entah akan turun dimana diriku ini. Ternyata hari ini aku tak hanya beruntung bisa mengetahui namanya, namun aku juga sial. Dunia memang selalu berputar.

Hari selanjutnya aku bersiap-siap menunggunya lagi di halte. Hari ini tak hujan seperti kemarin… sangat cerah seperti hatiku. Aku sangat senang sejak kemarin karena telah mengetahui siapa nama si cowok itu. Febri Kurniawan. Nama yang bagus. Sebagus senyumnya yang sangat manis. Ahhh… rasanya mengingat senyumnya membuatku ingin ikut tersenyum. Terlebih lagi ternyata dia orang yang sangat ramah, ini membuatku semakin menyukainya.
Tapi sama seperti kemarin, sudah sejam ia tak muncul juga. Aku sedikit kecewa. Sudah terlihat sepertinya hari ini aku tidak beruntung, ia tidak menunggu bus di jam seperti ini hari ini. Yaa… sudahlah aku sepertinya harus menunggu hujan dulu baru dapat bertemu dengannya. Hujan bulan februari yang mengantarkanku pada Febri. Ya ampun… tiba-tiba saja rasanya aku sangat menyukai hujan… cepat datanglah hujan!

Hujan akhirnya turun di tanggal 14 Februari. Senang rasanya… bisa bertemu Febri di hari yang menurut semua orang penuh dengan rasa cinta dan kebahagiaan. Mudah-mudahan saja ini ikut tertular padaku… ya semoga saja. Dengan rintikan hujan yang cukup deras, aku berlari menuju halte. Tepat dugaanku dia ada! Dia sedang duduk di halte sambil memegang telepon genggamnya. Sepertinya dia sedang sms, seperti yang dilakukannya kemari.
“Hai…”
Sapaku padanya. Aku tak ingin menyebut namanya. Takut ketahuan aku mencuri lihat nametag yang dikenakannya. Namun, anehnya hari ini ia tak mengenakan nametag. Ia juga tidak serapi biasanya. Hari ini ia mengganti celana bahan dan kemejanya dengan jeans dan kaos yang luarnya dibalut dengan jaket jeans hitam yang terlihat lusuh. Sepatu pantofelnya pun juga diganti dengan sepatu kets biasa. Mungkin hari ini dia libur. Tapi, mengapa ada disini?
“Eh… hai!” sapanya balik sambil mengeluarkan senyum yang lagi-lagi membuat degup jantungku bekerja dua kali lebih cepat. Dia sepertinya sangat sibuk, karena setelah tersenyum ia kemudian menunduk lagi, meneruskan sms nya yang tertunda. Mungkin itu pacarnya. Tebakku dengan rasa penuh kecewa…
“Kamu telat. Bus ke ragunannya baru aja lewat.” ucapnya tiba-tiba sambil tetap mengetik sms. Membuatku yang kaget saja.
“Ohhh iya… tadi aku telat.”
“Hari ini hujan lagi ya? Selalu ketemu sama si gadis berseragam SMA di kala hujan. Menarik banget!” ucapnya padaku. Saat itu ia tak lagi menunduk, ia menerawang ke langit kelabu melihat rintikan hujan yang turun dari langit. Pemandangan yang indah, terlebih lagi dia juga merasakan momen ini. Momen dimana memang pertemuanku dengannya hanya pada saat hujan. Hujan di bulan Februari yang penuh dengan cinta. Seperti yang saat ini kualami.
“Wah… bus yang aku tumpangi lewat. Duluan yaa!” serunya padaku sambil berdiri. Ia tersenyum. Senyumnya yang lagi-lagi sangat manis. Setelah itu ia bergegas naik ke bus. Timbul kekecewaan dalam diriku ketika aku tak melihat punggungnya lagi. Ketika senyumnya hilang seperti udara dingin yang saat ini menusuk kulitku. Sakit… ingin rasanya sekali lagi merasakan momen tadi. Momen yang sangat indah.

Cukup lama tak menemukan Febri lagi di halte. Lebih dari 5 hari jika dihitung. Sangat lama dan aku sangat merindukannya. Sosoknya yang tinggi dan tegap. Senyumanya yang sangat manis. Keramahannya yang membuat halte ini terasa sangat hangat dibandingkan dengan tumpukan selimut, bantal dan guling yang berada di rumah. Juga matanya yang meneduhkan seakan ada sebentuk perhatian yang membuatku selalu ingin bertahan lama-lama duduk di sampingnya.
Aku ingin momen beberapa hari lalu terulang. Momen yang jarang terlewatkan. Momen yang mungkin hanya saat itu aja dapat terjadi. Momen yang membuatku semakin sadar bahwa aku memang jatuh cinta pada Febri, sosok yang baru kutemui tiga kali, namun membekas sangat dalam di hatiku. Yaa… saudari kandungku benar. Aku memang jatuh cinta, jatuh cinta pada pandangan pertama. Kebodohan yang bagi banyak orang, tapi ini terasa sangat manis bagiku. Indah…. Hujan kembalilah. Antarkan aku pada Febri yang begitu kurindukan!

Hujan! Sejak istirahat pertama berlangsung, aku tak sabar cepat-cepat pulang. Aku berharap hujan ini akan awet hingga aku pulang dan bertemu dengan Febri di halte. Dan beruntungnya aku. Hujan masih berlangsung sampai jam pelajaran berakhir. Bergegas ku buka payung dan aku berlari menerobos keramaian rintikan air yang turun ke Jakarta siang ini. Akhirnya sampai juga aku di halte. Di kala hujan, halte memang terlihat sangat ramai oleh orang-orang yang tujuannya menunggu bus atau sekedar berteduh. Tapi justru inilah momen dimana kita bisa mengenal seseorang yang secara tak terduga tiba-tiba saja kita cintai.
Aku memilih berdiri di pojok. Ini tak mengganggu orang-orang yang sedang menunggu bus. Febri memang biasanya tidak datang secepat ini, maka aku berdiri di pojok dan menunggunya untuk datang. Sepertinya fungsi dari halte ini diubah oleh diriku sendiri. Yaa… halte ini tak lagi berfungsi sebagai tempat menunggu bus, namun tempat dimana aku menunggu cintaku. Cinta yang sulit kutemui, karena hanya hujan yang dapat membuatku bertemu dengannya.
Cukup lama juga. Menit demi menit aku menunggu Febri, tapi tak kelihatan sama sekali bahwa ia akan datang. Setelah hujan sedikit lebih reda, halte mulai kosong. Tempat duduknya pun mulai kosong. Aku akhirnya duduk. Tetap menunggu Febri... langit tetap kelabu, rintikan embun siang ini masih turun meski tak deras. Matahari tertutupi oleh awan kelabu yang selalu kunilai cantik, misterius sekaligus menyeramkan.
Namun… ada yang berbeda hari ini. Hujan sepertinya memang tidak mengantarkan keberuntungan hari ini. Hujan sepertinya tidak membuatku bertemu dengan Febri hari ini. Kemana Febri? Padahal sudah hampir satu jam aku menunggunya. Biasanya ia sudah hadir dan mungkin sudah duduk di sampingku sambil mengetik sms pentingnya. Apa dia tak lagi menunggu bus disini? Apa hari ini dia sakit? Atau dia memang sibuk dengan pekerjaannya? Berpuluh-puluh pertanyaan timbul di benakku tanpa ada yang bisa menjawabnya. Aku rindu… sangat rindu. Tapi bagaimana ini? Kerinduan ini rasanya akan sangat awet karena aku tak kunjung bertemu dengan Febri.
Sudahlah… aku sepertinya memang harus menyerah hari ini. Cukup untuk hari ini… lebih baik pulang ke rumah! Tapi… kok? Mataku membeku ketika menemukan sesosok benda yang sangat familiar dengan mataku. Benda yang membuatku tau nama seseorang. Nametag dengan nama Febri Kurniawan di dalamnya. Name tag yang sama, karena aku tau persis warna dan perusahaan dari si name tag itu. Namun, mengapa bukan Febri yang mengenakannya? Mengapa orang yang berbeda? Mengapa?
Akhirnya kudekati pria yang baru saja turun dari bus yang akan kunaiki itu. aku menyapanya dengan senyuman. Ia sepertinya sangat heran. Mungkin wajahku seperti orang yang mengenalnya. Tapi diwajahnya tertulis bahwa ia tak mengenalku sama sekali. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan saat ini adalah mengetahui name tag yang dikenakannya itu miliknya ataukah milik orang lain.
“Ada apa ya?” tanyanya.
“Maaf mas, name tag ini punya mas?” tanyaku padanya sambil menunjuk pada si name tag.
“Iya… Saya Febri Kurniawan. Kenapa emangnya? Kamu tidak percaya?” tanyanya padaku.
Mungkin wajahku memang memasang pertanyaan seperti itu. Dengan sigap ia mengeluarkan dompet dan kartu identitasnya padaku seperti aku ini pegawai kecamatan yang memeriksa kartu identitas seseorang. Tapi tepat sekali, namanya memang Febri Kurniawan. Lalu cowok itu? siapa namanya? Bukan Febri? Jadi… selama ini aku mengenal nama seseorang secara salah? Aku mencintai seseorang yang bukan bernama Febri? Jadi, Februari ini bukan untuk Febri? Hah… sudahlah. Biarkan Februari ini tetap menjadi milik Febri meskipun itu bukan namanya sekalipun. Namun, aku sudah terlanjur jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang cowok yang kutemui di halte pada saat hujan. Seseorang yang entah kapan bisa kutemui lagi… seseorang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar