Senja itu Kamu
Langit
sore menerangi suasana detik ini, ketika ada kamu di depanku. Dengan badan
tegap, wajah sangar, senyum kebahagiaan dan keringat yang mengucur deras dari
warna orange cerah. Ada kebahagiaan ketika memandangmu dari sudut mataku yang
paling sempit. Yaa... sudut mata yang mencerminkan dirimu. Aku tak pernah
mengerti kenapa harus bertahan seperti ini hanya untuk memandangimu, hanya
untuk melihat betapa indahnya dirimu di mataku.
Teriakan
itu membuatmu menghentikan langkah mencari bola, sejenak meninggalkan
teman-temanmu yang berlari menggapai bola tersebut. Kamu menoleh. Bukan
kearahku tapi kearah gadis cantik yang tak jauh dariku. Rena. Gadis yang
menurutku sangat beruntung karena mendapat senyummu, karena mendapat lambaian
mesra darimu, dan karena mendapat ribuan perhatian dari dirimu yang sangat
kuinginkan.
Tiga
bulan sudah, aku sebenarnya patah hati. Tapi aku sudah merasa cukup. Cukup melihatmu
bahagia bersama gadis yang kamu cintai. Cukup melihatmu bahagia karena selalu
tersenyum meskipun itu karena gadis lain. Bukan karena aku. Ya... ini bukan
pengorbanan, aku hanya sedang pasrah karena kenyataan. Kenyataan yang
menyatakan dengan sangat pasti bahwa cinta memang bukan milikku, milik orang
lain. Tapi... aku merasa masih bahagia. Karena apa? Karena dia masih sudi
menjadi sahabatku. Jadi... jika gadis yang berdiri tak jauh dariku itu diberi
senyuman penuh cinta, maka Febri akan memberikanku senyuman penuh sayang dari
seorang sahabat.
“Sa...
kopi nggak?”
Pertanyaan
itu mengagetkanku seketika ketika aku sedang asyik memandangi foto Febri
bersama Rena di telepon genggamnya. Aku lalu hanya menjawab dengan anggukan.
Sebuah semiotik yang selalu aku lakukan setiap kali Febri menawarkan pertanyaan
yang sama kepadaku. Kopi. Inilah segelas plastik berwarna coklat keruh yang
selalu kita minum setiap Febri pulang latihan. Kebiasaan yang selalu kusukai,
karena inilah yang membuatku selalu dekat dengannya.
Tak
lama, Febri sudah datang dengan membawa segelas plastik dengan isi berwarna
coklat keruh. Ia memberiku satu gelas, dan aku meneguknya sedikit. Merasakan
panas sekaligus manis dari sensasi si coklat keruh itu. Setelah selesai meneguk
sekali, aku kemudian memandang Febri. Ia sedang menggenggam gelas plastik kopinya
dan meneguknya lebih dari sekali. Inilah waktu yang selalu ingin kuhentikan.
Memandanginya dalam jarak yang sangat dekat dan menikmati indahnya senjaku.
Senja yang sebenarnya milik orang lain.......
“Hei,
kenapa deh bengong?” tanya Febri tiba-tiba. Aku kaget. Mudah-mudahan saja ia
tidak pernah tau aku selalu melamunkannya seperti ini.
“Siapa
yang bengong? Aku cuma mikirin PR Matematika aku aja kok. Banyak banget. Oh,
iya ada sms dari Rena barusan.” alihku dan kemudian memberikan telepon
genggamnya yang kebetulan sedang aku pegang. Ia kemudian menerimanya dan
membaca pesan singkat yang berada di dalamnya. Sesaat aku lalu meraih telepon
genggamku sendiri dan kemudian membuka aplikasi catatan di dalamnya. Aku
kemudian mengetik........
Ada kemilau
berwarna orange. Manis dengan segelas plastik tawa dan kecupan kopi. Meneguk hembusan
angin, lalu bersandar lembut lewat kejujuran tentang banyak hal. Lalu di
sela-sela garis kebahagiaan, aku ingin mengatakan..... bahwa senja ini adalah
kamu.
“Keren
banget, Sa... puisinya.”
Aku
sangat kaget saat Tera, sahabatku membuka buku catatanku. Jujur, disitu ada
satu puisi yang baru saja aku tulis kemarin menyoal Febri. Sebenarnya aku ingin
sekali menyembunyikan puisi itu. Maklum, takut ketahuan kalau-kalau aku sangat
menyukai Febri. Tapi.... apa mau dikata? Ternyata puisi itu memang tidak ingin
disembunyikan. Ia justru memperlihatkan dirinya sendiri, seakan-akan ingin
memberi tahukan pada seluruh dunia kalau ia dibuat untuk seseorang bernama
Febri.
“Itu
puisi iseng, Ra...” jawabku asal. Namun, saat ia mendengar jawaban asalku itu
ia seperti tidak setuju. Makna ini tergambar jelas dari gelengan kepalanya.
“Ini
puisi tentang perasaan kamu, Ra... aku kirim ke majalah gimana?”
“Hah?
Apa-apaan sih kamu? Nggak ah! Lagipula tau darimana kamu kalau puisi itu
tentang perasaan kamu?” tanyaku asal, padahal aku sendiri mengerti siapapun
yang membacanya akan dapat menebak jika puisi itu ada puisi tentang perasaan
cinta terhadap seseorang.
“Sa...
meskipun puisi ini bukan tentang perasaan kamu sekalipun, aku tetap akan
mengirim puisi ini ke majalah. Kebetulan ini kan bulan februari, ada lomba
puisi cinta di salah satu majalah yang sering aku baca. Pokoknya mau nggak mau,
suka nggak suka, biar aku yang ngirim puisi ini ke majalah itu. Kamu sih
tenang-tenang aja. Ok? Aku yakin menang. Nanti, kalau menang, kamu traktir aku
yaa sayang..........” ucap Tera panjang lebar. Tanpa mendengar sahutan
ketidaksetujuanku ia melangkah keluar pintu kelas. Tapi, tiba-tiba tanpa
sengaja dia kemudian menoleh lagi...
“Jangan
lupa... minggu depan ulang tahun Febri, Sa!”
Malam
minggu yang sepi. Rumah terasa begitu sunyi karena seluruh penghuninya keluar
di malam minggu yang menurut mereka indah ini. Tapi tak begitu denganku. Aku
sendirian di sini. Tak ada keluarga apalagi sahabat atau teman, terlebih lagi
PACAR. Kisah dari gadis berusia 16 tahun yang sangat menyedihkan....
“Ting
nong... Ting nong...”
Bunyi
bel yang begitu mengagetkan membuatku ingin semakin menangis. Benar-benar sial
rasanya. Siapa coba yang berani bertamu pada jam malam minggu seperti ini?
Relasi papa atau relasi mama? Sepertinya tidak mungkin. Mereka saja pergi
keluar untuk bertemu dengan relasi mereka yang lain. Tera? Itu juga tidak
mungkin. Dia pasti sedang pacaran. Lalu........
“Ting
nong... Ting nong...”
Hmm...
tamunya pasti tidak sabaran. Pasti tamu yang suka merusak malam minggu orang
lain, meskipun ia tahu malam mingguku dihabiskan dengan kesendirian. Ya... tapi
daripada orang itu memang memiliki kebutuhan yang sangat mendesak, akan lebih
baik aku segera membukakannya pintu. Tak lama aku berjalan... aku lalu membuka
pintu rumahku.......
“FEBRI?”
“Hai
Sa... aku ganggu yaa?” tanya Febri seketika padaku tanpa sekalipun menghiraukan
kekagetanku. Aku langsung menjawab dengan gelengan kepala, meskipun wajahku
masih menunjukkan wajah yang sangat syok.....
“Aku
beneran nggak ganggu? Kamu emangnya nggak sama keluarga kamu?”
“Nggak
Feb. Mereka pergi keluar. Kamu ngapain kesini?” tanyaku padanya. Berharap
segera menemukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sangat penasaran.
“Curhat.”
“Curhat
di malam minggu? Hei, Febriawan Dwi Putra... kemana Rena?”
“Aku
putus.”
Lalu
suasana pun tiba-tiba hening. Wajah lusuh yang diperlihatkannya sejak tadi,
ternyata karena hal itu. Karena kejadian buruk yang baru saja dialaminya. Febri
putus dengan Rena. Febri jomblo malam ini. Tapi...... karena apa? Kemarin
mereka baik-baik saja. Mereka masih terlihat sangat mesra. Mereka........
sudahlah. Lebih baik aku mendengar ceritanya.
Seperti
gadis-gadis kebanyakan... ternyata Rena juga memiliki rasa posesif yang sangat
tinggi. Seperti yang aku tahu, Febri tidak suka dengan sikap itu. Karena itulah
ia putus. Tapi gadis yang membuat Rena benar-benar cemburu adalah aku. Dan
Febri tidak pernah menyukai itu. Karena ia beranggapan aku hanyalah sahabatnya.
Itulah kenyataannya.
Sebuah
hubungan adalah kejujuran serta kepercayaan. Febri merasa Rena tidak begitu. Ia
tidak menerima kejujuran yang ada dan bahkan Rena tidak percaya pada kejujuran
yang memang sebuah kenyataan. Lalu? Entah mengapa aku tidak sedikit pun merasa bahagia.
Aku tidak sedikit pun merasa senang Febri putus. Wajah lusuhnya membuatku ingin
bilang bahwa dia menderita putus dari gadis yang sangat dicintainya.
Ya........
baiklah sepertinya aku memang harus melakukan sesuatu untuk senjaku. Bukan
karena aku tidak lagi menyukainya. Aku masih menyukai Febri. Tapi seperti yang
sudah aku rasakan dari awal... aku tidak dapat memaksakan perasaanku, jika aku
tau bahwa Febri hanya memberi cintanya pada Rena. Rena.... kamu harus kembali
pada Febri!
“SELAMAT
ULANG TAHUN FEBRI!”
Ucapan
selamat itu tampaknya tak membuat bahagia. Ia masih menekuk wajahnya. Aneh!
Padahal kabarnya semalam ia mendapat surprise
dari Rena dan teman-teman futsalnya. Kok? Masih murung? Kok? Jelek sih
wajahnya? Padahal menurutku itu adalah hadiah terbaik yang didapatkan olehnya.
Kenapa masih aja memasang raut wajah jelek seperti itu? Febri... Febri...
“Kamu
kenapa? Bukannya udah balik sama Rena?” tanyaku padanya.
“Lagi
bete sama kamu.”
“Kenapa?”
tanyaku heran. Mulai menebak-nebak kesalahan apa yang aku lakukan pada Febri.
Apa membuat Rena kembali padanya adalah sebuah kesalahan besar. Jika iya, Febri
berarti cowok yang aneh.
“Kamu
kok nggak ikut sih malam ini? Kamu nggak mau lagi jadi sahabat aku?”
“Bukan
gitu... tapi nggak boleh sama mama. Maaf yaa Feb!” ucapku padanya. Tapi dia
tidak tersenyum. Dia hanya diam saja, seperti benar-benar kesal padaku.
“Oke...
Aku benar-benar minta maaf.”
“Mana
hadiahnya?” tanya Febri padaku.
“Udah
aku kasih kan....?”
“Majalah
itu.”
“Majalah
yang mana?” tanyaku padanya dengan nada yang heran. Bingung.
“Jadi,
kamu nggak tahu apa-apa?” tanya Febri padaku. Aku menggeleng. Aku
benar-benar-benar nggak tahu apa-apa. Serius! Febri pun sepertinya percaya. Ia
lalu berdiri dan menarik tanganku keluar kelas.
Puisi
itu akhirnya terpampang dengan sangat jelas di salah satu halaman di sebuah
majalah remaja. Puisi yang aku buat untuk Febri. Puisi dengan label puisi cinta
terbaik tahun ini. Apa-apaan? Ternyata Tera benar-benar mengirimkan puisi ini
dalam lomba puisi dalam majalah ini. Sekarang... kenapa aku bisa tidak tahu
apa-apa? Kenapa justru Febri yang lebih dulu tahu dan memberi tahuku? Bahkan
dia menginginkan kado majalah ini di hari ulang tahunnya. Sebenarnya ada apa
ini?
“Jadi
senja itu siapa? Kenapa nggak ngasih tau aku kalau kamu suka sama seorang cowok
yang sebut kamu senja?” tanya Febri tiba-tiba. Aku tak dapat menjawab. Aku
hanya bisa diam. Febri lalu memandangku dengan tatapan yang sangat tajam seakan
ia mengucapkan... ucapkanlah sesuatu,
Sa...
Aku
benar-benar bingung. Mungkinkah Febri mengerti maksud dari puisi yang aku buat
itu. Mungkinkah ia mengerti bahwa senja itu adalah dirinya? Mungkinkah? Aku
memandang matanya. Ya, disana ia juga mencari sebuah jawaban dari diriku.
Memang hanya aku yang tampaknya mengerti tentang puisi itu. Tentang rasa sukaku
kepadanya. Febri... aku menyukaimu. Tapi......... tidak bisa kukatakan.
“Itu
puisi iseng. Bukan bermaksud Aku menyukai siapa pun. Nggak ada senja kok, Feb.
itu hanya sekedar puisi, nggak punya makna apapun.” ucapku datar. Namun, ada
sembilu di raut wajah Febri, tapi seketika dihilangkannya. Ia hanya tersenyum.
Lalu berkata....
“Majalah
ini buat aku ya... kado untuk tahun ini majalah ini aja!”
“Kok?”
“Ini
kado terbaik, bisa melihat nama sahabatku terpampang di majalah karena karyanya...
itu adalah hadiah terbaik buat aku di tahun ini. Terus nulis Sa... meskipun
tulisan itu nggak bermakna apa-apa sekalipun.” ucap Febri padaku. Ia tersenyum,
lalu pergi begitu saja.
Rasanya....
ada penyesalan. Mengapa tidak menjawab yang sebenarnya. Mengapa tidak
mengatakan yang sejujurnya bahwa senja itu adalah kamu. Senja itu Febriawan Dwi
Putra. Mengapa bicara seperti itu saja rasanya tidak pernah sanggup. Mengapa?
Rasanya... aku ingin menangis. Sesak..........
“Trirririririliiii”
Bunyi
telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Satu sms. Terlihat disitu nama “Febri”.
Jantungku berdegup kencang. Apa ya isinya? Apakah yang diketiknya dalam pesan
singkat ini? Apa yang ditulisnya? Apa yang ingin disampaikannya? Dengan jantung
yang berdegup sangat kencang... aku membuka pesan singkat di telepon genggamku.
Terima kasih
kadonya untuk tahun ini, aku memilih untuk nggak balikan sama Rena. Karena aku
sadar aku menyukai gadis lain yang nggak lain adalah sahabatku sendiri. Andai
aku adalah senja itu...
aku
hanya tersenyum. Sesak itu menghilang... lalu rasa lega yang melambung
tiba-tiba hadir begitu saja. Aku kemudian menekan tombol-tombol di telepon
genggamku dan menjawab pesan singkat dari Febri.
Senja
itu kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar