Kamis, 02 Februari 2012

Cerpen Senja itu Kamu


Senja itu Kamu

Langit sore menerangi suasana detik ini, ketika ada kamu di depanku. Dengan badan tegap, wajah sangar, senyum kebahagiaan dan keringat yang mengucur deras dari warna orange cerah. Ada kebahagiaan ketika memandangmu dari sudut mataku yang paling sempit. Yaa... sudut mata yang mencerminkan dirimu. Aku tak pernah mengerti kenapa harus bertahan seperti ini hanya untuk memandangimu, hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu di mataku.
“FEBRI............”
Teriakan itu membuatmu menghentikan langkah mencari bola, sejenak meninggalkan teman-temanmu yang berlari menggapai bola tersebut. Kamu menoleh. Bukan kearahku tapi kearah gadis cantik yang tak jauh dariku. Rena. Gadis yang menurutku sangat beruntung karena mendapat senyummu, karena mendapat lambaian mesra darimu, dan karena mendapat ribuan perhatian dari dirimu yang sangat kuinginkan.
Tiga bulan sudah, aku sebenarnya patah hati. Tapi aku sudah merasa cukup. Cukup melihatmu bahagia bersama gadis yang kamu cintai. Cukup melihatmu bahagia karena selalu tersenyum meskipun itu karena gadis lain. Bukan karena aku. Ya... ini bukan pengorbanan, aku hanya sedang pasrah karena kenyataan. Kenyataan yang menyatakan dengan sangat pasti bahwa cinta memang bukan milikku, milik orang lain. Tapi... aku merasa masih bahagia. Karena apa? Karena dia masih sudi menjadi sahabatku. Jadi... jika gadis yang berdiri tak jauh dariku itu diberi senyuman penuh cinta, maka Febri akan memberikanku senyuman penuh sayang dari seorang sahabat.

“Sa... kopi nggak?”
Pertanyaan itu mengagetkanku seketika ketika aku sedang asyik memandangi foto Febri bersama Rena di telepon genggamnya. Aku lalu hanya menjawab dengan anggukan. Sebuah semiotik yang selalu aku lakukan setiap kali Febri menawarkan pertanyaan yang sama kepadaku. Kopi. Inilah segelas plastik berwarna coklat keruh yang selalu kita minum setiap Febri pulang latihan. Kebiasaan yang selalu kusukai, karena inilah yang membuatku selalu dekat dengannya.
Tak lama, Febri sudah datang dengan membawa segelas plastik dengan isi berwarna coklat keruh. Ia memberiku satu gelas, dan aku meneguknya sedikit. Merasakan panas sekaligus manis dari sensasi si coklat keruh itu. Setelah selesai meneguk sekali, aku kemudian memandang Febri. Ia sedang menggenggam gelas plastik kopinya dan meneguknya lebih dari sekali. Inilah waktu yang selalu ingin kuhentikan. Memandanginya dalam jarak yang sangat dekat dan menikmati indahnya senjaku. Senja yang sebenarnya milik orang lain.......
“Hei, kenapa deh bengong?” tanya Febri tiba-tiba. Aku kaget. Mudah-mudahan saja ia tidak pernah tau aku selalu melamunkannya seperti ini.
“Siapa yang bengong? Aku cuma mikirin PR Matematika aku aja kok. Banyak banget. Oh, iya ada sms dari Rena barusan.” alihku dan kemudian memberikan telepon genggamnya yang kebetulan sedang aku pegang. Ia kemudian menerimanya dan membaca pesan singkat yang berada di dalamnya. Sesaat aku lalu meraih telepon genggamku sendiri dan kemudian membuka aplikasi catatan di dalamnya. Aku kemudian mengetik........
Ada kemilau berwarna orange. Manis dengan segelas plastik tawa dan kecupan kopi. Meneguk hembusan angin, lalu bersandar lembut lewat kejujuran tentang banyak hal. Lalu di sela-sela garis kebahagiaan, aku ingin mengatakan..... bahwa senja ini adalah kamu.

“Keren banget, Sa... puisinya.”
Aku sangat kaget saat Tera, sahabatku membuka buku catatanku. Jujur, disitu ada satu puisi yang baru saja aku tulis kemarin menyoal Febri. Sebenarnya aku ingin sekali menyembunyikan puisi itu. Maklum, takut ketahuan kalau-kalau aku sangat menyukai Febri. Tapi.... apa mau dikata? Ternyata puisi itu memang tidak ingin disembunyikan. Ia justru memperlihatkan dirinya sendiri, seakan-akan ingin memberi tahukan pada seluruh dunia kalau ia dibuat untuk seseorang bernama Febri.
“Itu puisi iseng, Ra...” jawabku asal. Namun, saat ia mendengar jawaban asalku itu ia seperti tidak setuju. Makna ini tergambar jelas dari gelengan kepalanya.
“Ini puisi tentang perasaan kamu, Ra... aku kirim ke majalah gimana?”
“Hah? Apa-apaan sih kamu? Nggak ah! Lagipula tau darimana kamu kalau puisi itu tentang perasaan kamu?” tanyaku asal, padahal aku sendiri mengerti siapapun yang membacanya akan dapat menebak jika puisi itu ada puisi tentang perasaan cinta terhadap seseorang.
“Sa... meskipun puisi ini bukan tentang perasaan kamu sekalipun, aku tetap akan mengirim puisi ini ke majalah. Kebetulan ini kan bulan februari, ada lomba puisi cinta di salah satu majalah yang sering aku baca. Pokoknya mau nggak mau, suka nggak suka, biar aku yang ngirim puisi ini ke majalah itu. Kamu sih tenang-tenang aja. Ok? Aku yakin menang. Nanti, kalau menang, kamu traktir aku yaa sayang..........” ucap Tera panjang lebar. Tanpa mendengar sahutan ketidaksetujuanku ia melangkah keluar pintu kelas. Tapi, tiba-tiba tanpa sengaja dia kemudian menoleh lagi...
“Jangan lupa... minggu depan ulang tahun Febri, Sa!”

Malam minggu yang sepi. Rumah terasa begitu sunyi karena seluruh penghuninya keluar di malam minggu yang menurut mereka indah ini. Tapi tak begitu denganku. Aku sendirian di sini. Tak ada keluarga apalagi sahabat atau teman, terlebih lagi PACAR. Kisah dari gadis berusia 16 tahun yang sangat menyedihkan....
“Ting nong... Ting nong...”
Bunyi bel yang begitu mengagetkan membuatku ingin semakin menangis. Benar-benar sial rasanya. Siapa coba yang berani bertamu pada jam malam minggu seperti ini? Relasi papa atau relasi mama? Sepertinya tidak mungkin. Mereka saja pergi keluar untuk bertemu dengan relasi mereka yang lain. Tera? Itu juga tidak mungkin. Dia pasti sedang pacaran. Lalu........
“Ting nong... Ting nong...”
Hmm... tamunya pasti tidak sabaran. Pasti tamu yang suka merusak malam minggu orang lain, meskipun ia tahu malam mingguku dihabiskan dengan kesendirian. Ya... tapi daripada orang itu memang memiliki kebutuhan yang sangat mendesak, akan lebih baik aku segera membukakannya pintu. Tak lama aku berjalan... aku lalu membuka pintu rumahku.......
“FEBRI?”
“Hai Sa... aku ganggu yaa?” tanya Febri seketika padaku tanpa sekalipun menghiraukan kekagetanku. Aku langsung menjawab dengan gelengan kepala, meskipun wajahku masih menunjukkan wajah yang sangat syok.....
“Aku beneran nggak ganggu? Kamu emangnya nggak sama keluarga kamu?”
“Nggak Feb. Mereka pergi keluar. Kamu ngapain kesini?” tanyaku padanya. Berharap segera menemukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sangat penasaran.
“Curhat.”
“Curhat di malam minggu? Hei, Febriawan Dwi Putra... kemana Rena?”
“Aku putus.”
Lalu suasana pun tiba-tiba hening. Wajah lusuh yang diperlihatkannya sejak tadi, ternyata karena hal itu. Karena kejadian buruk yang baru saja dialaminya. Febri putus dengan Rena. Febri jomblo malam ini. Tapi...... karena apa? Kemarin mereka baik-baik saja. Mereka masih terlihat sangat mesra. Mereka........ sudahlah. Lebih baik aku mendengar ceritanya.

Seperti gadis-gadis kebanyakan... ternyata Rena juga memiliki rasa posesif yang sangat tinggi. Seperti yang aku tahu, Febri tidak suka dengan sikap itu. Karena itulah ia putus. Tapi gadis yang membuat Rena benar-benar cemburu adalah aku. Dan Febri tidak pernah menyukai itu. Karena ia beranggapan aku hanyalah sahabatnya. Itulah kenyataannya.
Sebuah hubungan adalah kejujuran serta kepercayaan. Febri merasa Rena tidak begitu. Ia tidak menerima kejujuran yang ada dan bahkan Rena tidak percaya pada kejujuran yang memang sebuah kenyataan. Lalu? Entah mengapa aku tidak sedikit pun merasa bahagia. Aku tidak sedikit pun merasa senang Febri putus. Wajah lusuhnya membuatku ingin bilang bahwa dia menderita putus dari gadis yang sangat dicintainya.
Ya........ baiklah sepertinya aku memang harus melakukan sesuatu untuk senjaku. Bukan karena aku tidak lagi menyukainya. Aku masih menyukai Febri. Tapi seperti yang sudah aku rasakan dari awal... aku tidak dapat memaksakan perasaanku, jika aku tau bahwa Febri hanya memberi cintanya pada Rena. Rena.... kamu harus kembali pada Febri!

“SELAMAT ULANG TAHUN FEBRI!”
Ucapan selamat itu tampaknya tak membuat bahagia. Ia masih menekuk wajahnya. Aneh! Padahal kabarnya semalam ia mendapat surprise dari Rena dan teman-teman futsalnya. Kok? Masih murung? Kok? Jelek sih wajahnya? Padahal menurutku itu adalah hadiah terbaik yang didapatkan olehnya. Kenapa masih aja memasang raut wajah jelek seperti itu? Febri... Febri...
“Kamu kenapa? Bukannya udah balik sama Rena?” tanyaku padanya.
“Lagi bete sama kamu.”
“Kenapa?” tanyaku heran. Mulai menebak-nebak kesalahan apa yang aku lakukan pada Febri. Apa membuat Rena kembali padanya adalah sebuah kesalahan besar. Jika iya, Febri berarti cowok yang aneh.
“Kamu kok nggak ikut sih malam ini? Kamu nggak mau lagi jadi sahabat aku?”
“Bukan gitu... tapi nggak boleh sama mama. Maaf yaa Feb!” ucapku padanya. Tapi dia tidak tersenyum. Dia hanya diam saja, seperti benar-benar kesal padaku.
“Oke... Aku benar-benar minta maaf.”
“Mana hadiahnya?” tanya Febri padaku.
“Udah aku kasih kan....?”
“Majalah itu.”
“Majalah yang mana?” tanyaku padanya dengan nada yang heran. Bingung.
“Jadi, kamu nggak tahu apa-apa?” tanya Febri padaku. Aku menggeleng. Aku benar-benar-benar nggak tahu apa-apa. Serius! Febri pun sepertinya percaya. Ia lalu berdiri dan menarik tanganku keluar kelas.

Puisi itu akhirnya terpampang dengan sangat jelas di salah satu halaman di sebuah majalah remaja. Puisi yang aku buat untuk Febri. Puisi dengan label puisi cinta terbaik tahun ini. Apa-apaan? Ternyata Tera benar-benar mengirimkan puisi ini dalam lomba puisi dalam majalah ini. Sekarang... kenapa aku bisa tidak tahu apa-apa? Kenapa justru Febri yang lebih dulu tahu dan memberi tahuku? Bahkan dia menginginkan kado majalah ini di hari ulang tahunnya. Sebenarnya ada apa ini?
“Jadi senja itu siapa? Kenapa nggak ngasih tau aku kalau kamu suka sama seorang cowok yang sebut kamu senja?” tanya Febri tiba-tiba. Aku tak dapat menjawab. Aku hanya bisa diam. Febri lalu memandangku dengan tatapan yang sangat tajam seakan ia mengucapkan... ucapkanlah sesuatu, Sa...
Aku benar-benar bingung. Mungkinkah Febri mengerti maksud dari puisi yang aku buat itu. Mungkinkah ia mengerti bahwa senja itu adalah dirinya? Mungkinkah? Aku memandang matanya. Ya, disana ia juga mencari sebuah jawaban dari diriku. Memang hanya aku yang tampaknya mengerti tentang puisi itu. Tentang rasa sukaku kepadanya. Febri... aku menyukaimu. Tapi......... tidak bisa kukatakan.
“Itu puisi iseng. Bukan bermaksud Aku menyukai siapa pun. Nggak ada senja kok, Feb. itu hanya sekedar puisi, nggak punya makna apapun.” ucapku datar. Namun, ada sembilu di raut wajah Febri, tapi seketika dihilangkannya. Ia hanya tersenyum. Lalu berkata....
“Majalah ini buat aku ya... kado untuk tahun ini majalah ini aja!”
“Kok?”
“Ini kado terbaik, bisa melihat nama sahabatku terpampang di majalah karena karyanya... itu adalah hadiah terbaik buat aku di tahun ini. Terus nulis Sa... meskipun tulisan itu nggak bermakna apa-apa sekalipun.” ucap Febri padaku. Ia tersenyum, lalu pergi begitu saja.
Rasanya.... ada penyesalan. Mengapa tidak menjawab yang sebenarnya. Mengapa tidak mengatakan yang sejujurnya bahwa senja itu adalah kamu. Senja itu Febriawan Dwi Putra. Mengapa bicara seperti itu saja rasanya tidak pernah sanggup. Mengapa? Rasanya... aku ingin menangis. Sesak..........
“Trirririririliiii”
Bunyi telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Satu sms. Terlihat disitu nama “Febri”. Jantungku berdegup kencang. Apa ya isinya? Apakah yang diketiknya dalam pesan singkat ini? Apa yang ditulisnya? Apa yang ingin disampaikannya? Dengan jantung yang berdegup sangat kencang... aku membuka pesan singkat di telepon genggamku.
Terima kasih kadonya untuk tahun ini, aku memilih untuk nggak balikan sama Rena. Karena aku sadar aku menyukai gadis lain yang nggak lain adalah sahabatku sendiri. Andai aku adalah senja itu...
aku hanya tersenyum. Sesak itu menghilang... lalu rasa lega yang melambung tiba-tiba hadir begitu saja. Aku kemudian menekan tombol-tombol di telepon genggamku dan menjawab pesan singkat dari Febri. 
Senja itu kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar