Obsesi
“Mira……”
Lagi-lagi dia. Hufht!
Rasanya aku ingin enyah saja dari dunia ini setiap melihatnya tersenyum padaku.
Terlebih lagi saat dia memanggil namaku, rasanya aku ingin sekali memasukkan
diriku ke suatu tempat dimana ia tidak akan pernah menemukanku. Ya, aku memang
tak ingin berinteraksi dengannya. Menyapanya kembali dengan senyum ramah.
Kemudian memberinya kesempatan untuk berbincang denganku. Meskipun aku tau, dia
sedang mencuri-curi perhatianku, tapi aku rasanya aku tidak sudi memberikan
perhatian itu padanya.
Siapapun yang
mengenalku, mungkin memang benar kiranya kalau aku aneh. Aneh? Ya. Karena aku
menolak mentah-mentah orang yang sengaja mengejar cintaku. Dan juga karena aku
seperti tidak bersedia menjadi kekasihnya, padahal ada banyak gadis yang
mengantri mendapatkan perhatiannya. Untuk alasan tersebut rasanya aku memang
bisa dikategorikan ke dalam gadis yang sangat bodoh. Siapapun di sekolah, pasti
akan mengatakan kebodohan tersebut di belakangku. Tapi jika mereka lebih sadar
dan peka, aku punya banyak alasan mengapa berlaku seperti itu kepadanya. Aku
memang menyukainya. Dan aku tidak bisa berbohong bahwa perasaannya kepadaku
awalnya kurasa sangat menyenangkan. Benar-benar indah. Tapi, sayang itu………
hanya awalnya saja.
Namanya Ryan Anggara.
Dia adalah teman baikku. Orang yang sangat ramah, cerdas dan jago main futsal.
Selain itu, Ryan juga memiliki tampang lumayan dan gaya yang cukup keren. Dari
ciri-ciri tersebut memang tidak mengherankan mengapa Ryan begitu banyak diincar
para gadis dengan berbagai kriteria. Mereka banyak melakukan manuver-manuver
cantik untuk merebut perhatian Ryan. Sayang, dari semua hal yang dilakukan para
gadis itu kepada Ryan tak ada satu pun yang berhasil menaklukan hatinya. Tidak
ada satu pun.
Semua orang bingung.
Para gadis itu bahkan sampai mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang
membuatku sedikit pusing. Jujur, saat itu aku juga bingung mengapa Ryan menolak
semua gadis berkaegori A untuk jadi pacarnya. Tapi semakin hari semakin
terlihat apa sebenarnya alasan Ryan. Ya, sama seperti cowok-cowok waras lainnya.
Jika seorang cowok menolak seratus cewek berkualitas A, maka cowok tersebut
sudah memiliki seorang cewek berkualitas A+ di hatinya. Dan cewek yang dipilih
Ryan itu adalah diriku. Diriku yang tidak lain adalah teman baiknya sendiri.
Diriku yang tidak lain selalu menemani hari-harinya yang dipenuhi dengan
perhatian para cewek-cewek di sekolah. Dan diriku yang tidak pernah sedikit pun
berpikir untuk menjadi pacarnya.
Perhatian Ryan memang
tidak secara langsung kuketahui. Aku mulai merasakannya saat aku mulai mendengarkan
beberapa temanku mengenai pendapatnya tentang hubunganku dengan Ryan. Saat itu
aku menjawab dengan santai bahwa kami hanya teman. Ya, teman biasa saja. Tapi
setelah aku pikir-pikir lagi, sikap Ryan memang melebihi dari sekedar teman.
Dia terlalu perhatian untuk disebut sebagai seorang teman.
Pada dasarnya, seorang
cowok tidak akan bersedia mengantar pulang seorang cewek ke rumahnya setiap
hari jika ia hanya menganggapnya teman. Seorang cowok tidak akan mengajak
seorang cewek pergi keluar setiap minggu jika ia hanya menganggap cewek
tersebut hanya seorang teman. Dan seorang cowok tidak akan memberikan
hadiah-hadiah manis kepada seorang cewek tanpa ada hari-hari spesial tertentu
jika status cewek itu tidak lebih dari sekedar teman. Ya, itu hanya beberapa
filosofi. Dan filosofi itu menyimpulkan bahwa Ryan tidak menganggapku sebagai
teman. Dia menganggapku lebih dari itu. Dan itu terbukti tak lama setelah aku
menggunakan otakku untuk menjelaskan sikap Ryan kepadaku.
“aku suka kamu! Bahkan
lebih dari itu, aku sayang sama kamu Mir……”
Tepat pada hari ulang
tahunnya yang ke-17, Ryan mengatakan itu di depan banyak orang. Ya, di hadapan
ratusan teman-teman satu sekolah Ryan mengungkapkan perasaannya kepadaku.
Namun, entah saat itu apa yang sedang aku pikirkan. Aku tak dapat mengatakan
apapun. Aku bisu. Tak ada satu pun jawaban yang mampu keluar dari mulutku. Aku
terpaku. Dan tampaknya Ryan mengerti akan keadaan itu. Dengan sikap yang selalu
tenang, ia tersenyum kearahku, membuatku kaget. Bagaimana bisa seseorang yang
sesungguhnya lebih tegang dariku bisa mengeluarkan senyum yang begitu tenang
seakan tak pernah terjadi apa-apa semenit lalu.
“kamu nggak usah jawab
sekarang! Aku akan menunggu kamu. Kapanpun!” ujarnya dengan nada serendah
mungkin sehingga tak ada orang yang bisa mendengarnya ucapan, terkecuali
telingaku tentu saja.
Dua hari setelah
menyatakan perasaannya, Ryan mengajakku keluar. Dia mengajakku melakukan banyak
hal, dari jalan-jalan sampai hunting foto. Ya, memang banyak hal yang bisa kami
lakukan. Meskipun terasa sangat menyenangkan, namun ada perasaan ganjil yang
selalu mengusik hatiku setiap kali dekat dengan Ryan. Ini sangat berbeda jika
dibanding dengan sebelum Ryan menyatakan perasaannya kepadaku. Ini sangat aneh.
Padahal jika dilihat,
tak ada yang berubah dari kebersamaanku dengan Ryan. Dia masih bersikap biasa.
Dia masih teman. Mungkin yang berbeda hanya hatinya. Ryan yang dulu tak pernah
dengan jelas menujukkan rasa perhatian yang besar seperti sekarang. Ryan yang
dulu juga tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang aku suka dan apa
yang aku tidak suka. Ya, Ryan yang sekarang memang terlihat lebih manis. Itu
saja.
Namun, perubahan itu
justru membuatku merasa agak risih. Aku merasa pertemananku dengannya sudah
berubah. Hal ini tentu saja berimbas pada sikapku terhadapnya. Jika, dikatakan
aku bersikap menghindarinya……. Ya. Aku memang menghindarinya. Aku memang
menarik jarak, karena sejujurnya aku lebih suka Ryan menjadi temanku daripada
menjadi seorang pacar.
Awal yang indah terasa
sangat suram ketika aku melihat perubahan sikap Ryan. Ya, Ryan yang selalu
bersikap menyenangkan dan baik berubah menjadi orang yang paling menyebalkan.
Bagaimana tidak? Dia menjadi orang yang protektif. Ya, dia melarangku berbicara
dengan cowok lain sedekat aku berbicara dengannya. Dia melarang aku untuk duduk
di samping cowok lain padahal ia tahu sejak dua tahun lalu teman sebangku aku
itu berjenis kelamin COWOK.
Sebenarnya aku sadar
kenapa Ryan bersikap seperti itu. Mungkin ini rasa ketakutannya saja terhadapku.
Aku pun cukup mengerti, karena teman-teman baikku hampir semuanya berjenis
kelamin cowok. Tapi apakah itu berhak dijadikan sebagai argumentasi untuk Ryan?
Bayangkan saja dia saja bahkan belum berstatus sebagai pacar! Walau bagaimana
pun ini adalah pengekangan terhadap kebebasanku dalam bersosialisasi dengan
orang lain. Ryan mungkin boleh dikatakan jantan, karena berani mengakui
perasaannya terhadapku di depan semua orang. Namun, saat ini Ryan sangat banci
untuk mengekang kehidupan seorang cewek yang bahkan belum sah menjadi pacarnya.
“Ryan, maaf aku nggak
bisa nerima kamu!”
“kenapa?”
Pertanyaan Ryan
membuatku bimbang dan merasa bersalah. Namun, ini sudah menjadi keputusanku.
Aku tak ingin memberikan kesempatan pada Ryan untuk mengubah hidupku. Aku tak
ingin menyesal di lain hari karena keputusan yang salah. Ya, sudah cukup. Sudah
waktunya aku menjawab pertanyaan Ryan tentang perasaannya. Dan sudah waktunya
aku bersikap tegas terhadap perasaan tulusnya terhadapku.
“aku rasa kita lebih
cocok jadi teman daripada jadi pacar.”
“yakin?”
“iya. Aku yakin!”
“tapi aku sayang banget
sama kamu, Mir!”
“kalau kamu sayang sama
aku, nggak seharusnya kamu melarang aku bergaul sama siapa pun! Aku itu bukan
pacar kamu. Aku juga bukan siapa-siapa kamu, tapi kamu berani melarang dan
mengatur kehidupan aku. Ryan, kita masih muda…… dan aku masih mau bebas jalani
kehidupan aku! Aku lebih baik nggak punya pacar, daripada aku punya pacar tapi
kehidupan aku cuma sebatas sangkar burung! Jadi, maaf Ryan.” ucapku pada Ryan.
Ryan diam. Dia tak bergerak. Agak menyesal ketika melihat wajah tenangnya
berubah menjadi pucat karena jawaban yang aku berikan kepadanya.
“oke, nggak apa-apa
Mir! Mungkin sekarang kamu nggak bisa nerima, tapi suatu saat nanti kamu pasti
akan nerima aku!” sahut Ryan kemudian masih dengan wajah yang pucat dan keruh.
Jujur, melihat Ryan……. Aku takut! Dia berubah. Tak lagi setenang dan sekalem
dulu. Keadaan mengubahnya menjadi orang lain. Dan aku merasa keputusanku sudah
tepat, karena apa yang dirasakan Ryan sekarang kepadaku bukanlah cinta. Itu
obsesi.
Usaha Ryan untuk
mengejarku ternyata benar-benar tak berhenti. Sikapnya justru semakin
menyebalkan. Dan itu ditujukkannya hanya padaku. Ya, hanya kepada diriku. Aku
sebenarnya merasa sangat tersiksa. Beruntung, penyiksaan ini disela oleh Ujian
Nasional dan Ujian Akhir Sekolah, jadi konsenterasi Ryan bisa sedikit berubah
haluan.
Meskipun menyebalkan,
namun Ryan masih baik. Dia masih memberikanku perhatian, walaupun itu dinilai
agak berlebihan. Ya, dia memberikanku banyak hal yang seharusnya dia berikan
pada seseorang yang berstatus sebagai pacarnya. Sedangkan aku? Aku sudah
menolak menjadi pacarnya. Sudah seharusnya Ryan menjauh dariku dan membenciku.
Namun, pada kenyataannya sikap Ryan tidak berubah. Dia masih begitu ingin
mendapatkanku. Obsesinya itu sudah sangat menyiksaku. Dan jika waktunya sudah
tiba, aku akan bertindak. Aku akan menghentikan obsesi Ryan, bagaimana pun
caranya.
“ini buat kamu!”
Aku memberikan satu
amplop putih berisi surat kepada Ryan diakhir pengumuman Ujian Nasional. Surat
itu sengaja aku buat untuk menegaskan kembali perasaanku kepadanya. Aku
berharap Ryan mau mengerti. Mungkin dengan tulisan, Ryan dapat memahami bahwa
aku sudah sangat lelah dengan tingkah lakunya. Sudah waktunya Ryan berubah.
Sudah waktunya dia membuang semua obsesinya mengenai diriku. Sudah cukup dia
menyakiti perasaanku dan perasaannya sendiri.
“aku harap kamu
membacanya setelah sampai di rumah! Aku hanya menunggu sebuah sms sebagai
jawabannya. Ryan, senang bisa menjadi teman kamu selama ini.”
Untuk
temanku, Ryan.
Aku
cuma mau bilang kalau aku sayang sama kamu. Sebagai teman, nggak lebih dari
itu. Aku harap kamu mengerti! Dan aku harap kamu menyadari bahwa rasa sayang
kamu ke aku sudah berubah menjadi obsesi. Ryan, satu hal yang perlu kamu tau
cinta itu bukan pemaksaan. Ketika kamu memaksakannya pada seseorang, dia bukan
lagi bernama cinta, tapi obsesi. Dan aku nggak mau jadi bagian dari obsesi
kamu. Aku mau kamu menyayangi aku tanpa paksaan. Jadi, selama kamu belum
menghilangkan obsesi itu jangan sayangi aku! Karena aku hanya menerima Ryan
yang dulu.
Semoga,
aku mendapat sms yang indah setelah membuat surat ini!
Mira
Sore yang mendung.
Mudah-mudahan tak berimbas pada pesan singkat yang sedang kunanti di
handphone-ku. Ya……. Mudah-mudahan. Tapi, mengapa lama sekali? Rasanya sudah
lebih dari lima jam setelah Ryan menerima surat itu. Mengapa tak juga ada sms
masuk? Apa Ryan tidak bersedia kembali menjadi seperti dulu? Menjadi teman yang
baik. Menjadi teman terbaik yang sangat aku sayangi? Akh…… tidak kuharap
jangan! Jujur, aku tidak ingin kehilangan Ryan, meskipun aku benci obsesinya
padaku.
Brrrrrrrrrrrr! Akhirnya
handphone-ku bergetar. Ada satu pesan masuk. Aku agak ragu sebenarnya untuk
membukanya. Ya, agak takut jikalau itu bukan jawaban yang aku harapkan dari
Ryan. Bagaimana jika dia tetap menolak menghilangkan obsesinya? Bagaimana jika
dia tetap ingin mengejarku dengan obsesi itu? Bagaimana??? Hah, entahlah……..
lebih baik aku membuka sms-nya terlebih dahulu. Dan tak terduga, Ryan menjawabnya
dengan sangat sempurna. Akhirnya, Ryan tau bagaimana caranya menggunakan
obsesinya dengan baik
Mira,
aku akan menjadi Ryan yang dulu. Tapi, aku tidak akan pernah membuang obsesi
itu! Karena berkat obsesi itu aku nggak hancur ketika kamu tolak. Bagaimana
jika aku merubah sedikit obsesiku? Aku tidak akan berobsesi lagi sebagai pacar
kamu, tapi aku akan berobsesi menjadi orang yang lebih baik. Siapa tahu saja
suatu saat nanti kamu yang terobsesi padaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar