Kamis, 02 Februari 2012

Cerpen Obsesi


Obsesi

“Mira……”
Lagi-lagi dia. Hufht! Rasanya aku ingin enyah saja dari dunia ini setiap melihatnya tersenyum padaku. Terlebih lagi saat dia memanggil namaku, rasanya aku ingin sekali memasukkan diriku ke suatu tempat dimana ia tidak akan pernah menemukanku. Ya, aku memang tak ingin berinteraksi dengannya. Menyapanya kembali dengan senyum ramah. Kemudian memberinya kesempatan untuk berbincang denganku. Meskipun aku tau, dia sedang mencuri-curi perhatianku, tapi aku rasanya aku tidak sudi memberikan perhatian itu padanya.
Siapapun yang mengenalku, mungkin memang benar kiranya kalau aku aneh. Aneh? Ya. Karena aku menolak mentah-mentah orang yang sengaja mengejar cintaku. Dan juga karena aku seperti tidak bersedia menjadi kekasihnya, padahal ada banyak gadis yang mengantri mendapatkan perhatiannya. Untuk alasan tersebut rasanya aku memang bisa dikategorikan ke dalam gadis yang sangat bodoh. Siapapun di sekolah, pasti akan mengatakan kebodohan tersebut di belakangku. Tapi jika mereka lebih sadar dan peka, aku punya banyak alasan mengapa berlaku seperti itu kepadanya. Aku memang menyukainya. Dan aku tidak bisa berbohong bahwa perasaannya kepadaku awalnya kurasa sangat menyenangkan. Benar-benar indah. Tapi, sayang itu……… hanya awalnya saja.

Namanya Ryan Anggara. Dia adalah teman baikku. Orang yang sangat ramah, cerdas dan jago main futsal. Selain itu, Ryan juga memiliki tampang lumayan dan gaya yang cukup keren. Dari ciri-ciri tersebut memang tidak mengherankan mengapa Ryan begitu banyak diincar para gadis dengan berbagai kriteria. Mereka banyak melakukan manuver-manuver cantik untuk merebut perhatian Ryan. Sayang, dari semua hal yang dilakukan para gadis itu kepada Ryan tak ada satu pun yang berhasil menaklukan hatinya. Tidak ada satu pun.
Semua orang bingung. Para gadis itu bahkan sampai mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang membuatku sedikit pusing. Jujur, saat itu aku juga bingung mengapa Ryan menolak semua gadis berkaegori A untuk jadi pacarnya. Tapi semakin hari semakin terlihat apa sebenarnya alasan Ryan. Ya, sama seperti cowok-cowok waras lainnya. Jika seorang cowok menolak seratus cewek berkualitas A, maka cowok tersebut sudah memiliki seorang cewek berkualitas A+ di hatinya. Dan cewek yang dipilih Ryan itu adalah diriku. Diriku yang tidak lain adalah teman baiknya sendiri. Diriku yang tidak lain selalu menemani hari-harinya yang dipenuhi dengan perhatian para cewek-cewek di sekolah. Dan diriku yang tidak pernah sedikit pun berpikir untuk menjadi pacarnya.

Perhatian Ryan memang tidak secara langsung kuketahui. Aku mulai merasakannya saat aku mulai mendengarkan beberapa temanku mengenai pendapatnya tentang hubunganku dengan Ryan. Saat itu aku menjawab dengan santai bahwa kami hanya teman. Ya, teman biasa saja. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, sikap Ryan memang melebihi dari sekedar teman. Dia terlalu perhatian untuk disebut sebagai seorang teman.
Pada dasarnya, seorang cowok tidak akan bersedia mengantar pulang seorang cewek ke rumahnya setiap hari jika ia hanya menganggapnya teman. Seorang cowok tidak akan mengajak seorang cewek pergi keluar setiap minggu jika ia hanya menganggap cewek tersebut hanya seorang teman. Dan seorang cowok tidak akan memberikan hadiah-hadiah manis kepada seorang cewek tanpa ada hari-hari spesial tertentu jika status cewek itu tidak lebih dari sekedar teman. Ya, itu hanya beberapa filosofi. Dan filosofi itu menyimpulkan bahwa Ryan tidak menganggapku sebagai teman. Dia menganggapku lebih dari itu. Dan itu terbukti tak lama setelah aku menggunakan otakku untuk menjelaskan sikap Ryan kepadaku.

“aku suka kamu! Bahkan lebih dari itu, aku sayang sama kamu Mir……”
Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-17, Ryan mengatakan itu di depan banyak orang. Ya, di hadapan ratusan teman-teman satu sekolah Ryan mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun, entah saat itu apa yang sedang aku pikirkan. Aku tak dapat mengatakan apapun. Aku bisu. Tak ada satu pun jawaban yang mampu keluar dari mulutku. Aku terpaku. Dan tampaknya Ryan mengerti akan keadaan itu. Dengan sikap yang selalu tenang, ia tersenyum kearahku, membuatku kaget. Bagaimana bisa seseorang yang sesungguhnya lebih tegang dariku bisa mengeluarkan senyum yang begitu tenang seakan tak pernah terjadi apa-apa semenit lalu.
“kamu nggak usah jawab sekarang! Aku akan menunggu kamu. Kapanpun!” ujarnya dengan nada serendah mungkin sehingga tak ada orang yang bisa mendengarnya ucapan, terkecuali telingaku tentu saja.

Dua hari setelah menyatakan perasaannya, Ryan mengajakku keluar. Dia mengajakku melakukan banyak hal, dari jalan-jalan sampai hunting foto. Ya, memang banyak hal yang bisa kami lakukan. Meskipun terasa sangat menyenangkan, namun ada perasaan ganjil yang selalu mengusik hatiku setiap kali dekat dengan Ryan. Ini sangat berbeda jika dibanding dengan sebelum Ryan menyatakan perasaannya kepadaku. Ini sangat aneh.
Padahal jika dilihat, tak ada yang berubah dari kebersamaanku dengan Ryan. Dia masih bersikap biasa. Dia masih teman. Mungkin yang berbeda hanya hatinya. Ryan yang dulu tak pernah dengan jelas menujukkan rasa perhatian yang besar seperti sekarang. Ryan yang dulu juga tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang aku suka dan apa yang aku tidak suka. Ya, Ryan yang sekarang memang terlihat lebih manis. Itu saja.
Namun, perubahan itu justru membuatku merasa agak risih. Aku merasa pertemananku dengannya sudah berubah. Hal ini tentu saja berimbas pada sikapku terhadapnya. Jika, dikatakan aku bersikap menghindarinya……. Ya. Aku memang menghindarinya. Aku memang menarik jarak, karena sejujurnya aku lebih suka Ryan menjadi temanku daripada menjadi seorang pacar.

Awal yang indah terasa sangat suram ketika aku melihat perubahan sikap Ryan. Ya, Ryan yang selalu bersikap menyenangkan dan baik berubah menjadi orang yang paling menyebalkan. Bagaimana tidak? Dia menjadi orang yang protektif. Ya, dia melarangku berbicara dengan cowok lain sedekat aku berbicara dengannya. Dia melarang aku untuk duduk di samping cowok lain padahal ia tahu sejak dua tahun lalu teman sebangku aku itu berjenis kelamin COWOK.
Sebenarnya aku sadar kenapa Ryan bersikap seperti itu. Mungkin ini rasa ketakutannya saja terhadapku. Aku pun cukup mengerti, karena teman-teman baikku hampir semuanya berjenis kelamin cowok. Tapi apakah itu berhak dijadikan sebagai argumentasi untuk Ryan? Bayangkan saja dia saja bahkan belum berstatus sebagai pacar! Walau bagaimana pun ini adalah pengekangan terhadap kebebasanku dalam bersosialisasi dengan orang lain. Ryan mungkin boleh dikatakan jantan, karena berani mengakui perasaannya terhadapku di depan semua orang. Namun, saat ini Ryan sangat banci untuk mengekang kehidupan seorang cewek yang bahkan belum sah menjadi pacarnya.

“Ryan, maaf aku nggak bisa nerima kamu!”
“kenapa?”
Pertanyaan Ryan membuatku bimbang dan merasa bersalah. Namun, ini sudah menjadi keputusanku. Aku tak ingin memberikan kesempatan pada Ryan untuk mengubah hidupku. Aku tak ingin menyesal di lain hari karena keputusan yang salah. Ya, sudah cukup. Sudah waktunya aku menjawab pertanyaan Ryan tentang perasaannya. Dan sudah waktunya aku bersikap tegas terhadap perasaan tulusnya terhadapku.
“aku rasa kita lebih cocok jadi teman daripada jadi pacar.”
“yakin?”
“iya. Aku yakin!”
“tapi aku sayang banget sama kamu, Mir!”
“kalau kamu sayang sama aku, nggak seharusnya kamu melarang aku bergaul sama siapa pun! Aku itu bukan pacar kamu. Aku juga bukan siapa-siapa kamu, tapi kamu berani melarang dan mengatur kehidupan aku. Ryan, kita masih muda…… dan aku masih mau bebas jalani kehidupan aku! Aku lebih baik nggak punya pacar, daripada aku punya pacar tapi kehidupan aku cuma sebatas sangkar burung! Jadi, maaf Ryan.” ucapku pada Ryan. Ryan diam. Dia tak bergerak. Agak menyesal ketika melihat wajah tenangnya berubah menjadi pucat karena jawaban yang aku berikan kepadanya.
“oke, nggak apa-apa Mir! Mungkin sekarang kamu nggak bisa nerima, tapi suatu saat nanti kamu pasti akan nerima aku!” sahut Ryan kemudian masih dengan wajah yang pucat dan keruh. Jujur, melihat Ryan……. Aku takut! Dia berubah. Tak lagi setenang dan sekalem dulu. Keadaan mengubahnya menjadi orang lain. Dan aku merasa keputusanku sudah tepat, karena apa yang dirasakan Ryan sekarang kepadaku bukanlah cinta. Itu obsesi.

Usaha Ryan untuk mengejarku ternyata benar-benar tak berhenti. Sikapnya justru semakin menyebalkan. Dan itu ditujukkannya hanya padaku. Ya, hanya kepada diriku. Aku sebenarnya merasa sangat tersiksa. Beruntung, penyiksaan ini disela oleh Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah, jadi konsenterasi Ryan bisa sedikit berubah haluan.
Meskipun menyebalkan, namun Ryan masih baik. Dia masih memberikanku perhatian, walaupun itu dinilai agak berlebihan. Ya, dia memberikanku banyak hal yang seharusnya dia berikan pada seseorang yang berstatus sebagai pacarnya. Sedangkan aku? Aku sudah menolak menjadi pacarnya. Sudah seharusnya Ryan menjauh dariku dan membenciku. Namun, pada kenyataannya sikap Ryan tidak berubah. Dia masih begitu ingin mendapatkanku. Obsesinya itu sudah sangat menyiksaku. Dan jika waktunya sudah tiba, aku akan bertindak. Aku akan menghentikan obsesi Ryan, bagaimana pun caranya.

“ini buat kamu!”
Aku memberikan satu amplop putih berisi surat kepada Ryan diakhir pengumuman Ujian Nasional. Surat itu sengaja aku buat untuk menegaskan kembali perasaanku kepadanya. Aku berharap Ryan mau mengerti. Mungkin dengan tulisan, Ryan dapat memahami bahwa aku sudah sangat lelah dengan tingkah lakunya. Sudah waktunya Ryan berubah. Sudah waktunya dia membuang semua obsesinya mengenai diriku. Sudah cukup dia menyakiti perasaanku dan perasaannya sendiri.
“aku harap kamu membacanya setelah sampai di rumah! Aku hanya menunggu sebuah sms sebagai jawabannya. Ryan, senang bisa menjadi teman kamu selama ini.”

Untuk temanku, Ryan.
Aku cuma mau bilang kalau aku sayang sama kamu. Sebagai teman, nggak lebih dari itu. Aku harap kamu mengerti! Dan aku harap kamu menyadari bahwa rasa sayang kamu ke aku sudah berubah menjadi obsesi. Ryan, satu hal yang perlu kamu tau cinta itu bukan pemaksaan. Ketika kamu memaksakannya pada seseorang, dia bukan lagi bernama cinta, tapi obsesi. Dan aku nggak mau jadi bagian dari obsesi kamu. Aku mau kamu menyayangi aku tanpa paksaan. Jadi, selama kamu belum menghilangkan obsesi itu jangan sayangi aku! Karena aku hanya menerima Ryan yang dulu.
Semoga, aku mendapat sms yang indah setelah membuat surat ini!
Mira

Sore yang mendung. Mudah-mudahan tak berimbas pada pesan singkat yang sedang kunanti di handphone-ku. Ya……. Mudah-mudahan. Tapi, mengapa lama sekali? Rasanya sudah lebih dari lima jam setelah Ryan menerima surat itu. Mengapa tak juga ada sms masuk? Apa Ryan tidak bersedia kembali menjadi seperti dulu? Menjadi teman yang baik. Menjadi teman terbaik yang sangat aku sayangi? Akh…… tidak kuharap jangan! Jujur, aku tidak ingin kehilangan Ryan, meskipun aku benci obsesinya padaku.
Brrrrrrrrrrrr! Akhirnya handphone-ku bergetar. Ada satu pesan masuk. Aku agak ragu sebenarnya untuk membukanya. Ya, agak takut jikalau itu bukan jawaban yang aku harapkan dari Ryan. Bagaimana jika dia tetap menolak menghilangkan obsesinya? Bagaimana jika dia tetap ingin mengejarku dengan obsesi itu? Bagaimana??? Hah, entahlah…….. lebih baik aku membuka sms-nya terlebih dahulu. Dan tak terduga, Ryan menjawabnya dengan sangat sempurna. Akhirnya, Ryan tau bagaimana caranya menggunakan obsesinya dengan baik
Mira, aku akan menjadi Ryan yang dulu. Tapi, aku tidak akan pernah membuang obsesi itu! Karena berkat obsesi itu aku nggak hancur ketika kamu tolak. Bagaimana jika aku merubah sedikit obsesiku? Aku tidak akan berobsesi lagi sebagai pacar kamu, tapi aku akan berobsesi menjadi orang yang lebih baik. Siapa tahu saja suatu saat nanti kamu yang terobsesi padaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar