Minggu, 22 Januari 2012

Cerpen Jemari Hangatmu


JEMARI HANGATMU
Inilah awal aku mengenal cinta. Ketika angin berhembus saat senja. Menanti mentari terbuai lamunan malam. Tergantikan oleh sang dewi malam. Berbalut angin berlari-lari mengitari dua insan yang sedang mabuk asmara.
Bertemankan kopi sebagai penghias indahnya senja kala itu, mereka bercerita tentang banyak hal. Sebut saja perempuan itu putih dan pria itu hitam. Entahlah, mengapa aku bisa menyebut mereka berdua seperti itu. Tetapi, itulah fakta yang kurasa.
Hitam mulai gemulai dalam melakoni adegan yang isinya rindu-rinduan. Membuat hari itu terasa berlalu sangat cepat untuk putih. Ada cinta dibalik gombalan yang biasa dianggap perempuan manapun menjadi basi. Namun, ternyata tidak untuknya. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Oh, ternyata gombalan itu adalah ciri khas si hitam yang hanya ingin melihat putih tersenyum di hadapannya. Faktanya, itu berhasil dengan mulus bak setrikaan yang mondar-mandir memuluskan pakaian.
Lantas, hitam mulai melirik ke arah jemari si putih. Bertanya dalam hatinya, apakah jemari itu mampu menghangatkan hatinya yang beku dan sunyi akan kehidupan di dunia ini. Mencoba berusaha tapi agak tersendat oleh keraguan. Dengan niat, hitam mulai menggenggam dengan perlahan untuk merasakan centi demi centi hangatnya jemari itu.
“Wow..” ucapnya dalam hati.
Derasnya aliran kehangatan itu mengalir hingga menembus relung jiwanya. Aku suka. Dia seperti ibu. Ibu yang kelak akan menghangatkan anak-anaknya. Ibu yang kelak akan menghadiahkan kasih sayang tanpa batas untuk keluarga yang dicintainya.
Senyum itu mulai muncul ke permukaan. Membentuk sebuah simpul mungil dengan percikan cinta yang membuat si hitam mulai berdegup jantungnya. Berdegup hingga tak dapat merasakan lagi lingkungan di sekitarnya. Percikan itu menimbulkan kejutan khas akan rasa yang tak dapat di cerna oleh akal. Kejutan yang hanya dapat dirasakan tanpa dapat diterjemahkan.
Angin mulai berhembus dengan kencang, seperti iringan mobil pengantin hendak berbulan madu dalam rajutan cinta. Awan menjadi gelap seraya ingin mengusik kehangatan yang sedang meraka rasakan. Tetesan air evaporasi mulai terjun bebas menyerang permukaan bumi dengan kedamaian.
Si hitam bergegas mengajak putih segera pulang. Pulang ke rumah yang telah dihuninya bersama keluarga tercintanya. Mereka berlari menuju halaman sebuah gedung berlantai enam yang menjadi pusat ilmu bagi seluruh mahasiswa di Universitas hijau itu. Naik kuda besi dengan alakadarnya dan menuju tempat istirahat si hitam.
Namun, tak lama hujan itu mendamaikan bumi dengan sejuknya air. Mereka berdua langsung tancap gas menuju daerah pinggiran Jakarta yang berbatasan dengan Kota Tangerang. Teringat salah satu kejadian terheboh di Indonesia yang berasal dari meledaknya kompor berbahan bakar gas. Hampir mirip pula nama daerah si putih tersebut, hanya perlu ditambah “Ci” saja.
Dengan perlahan namun pasti, sang hitam menggapai hangatnya sore itu dengan genggaman jemari si putih. Si putih yang periang dan berwibawa itu seakan terhanyut dalam melodi kasmaran yang sedang tercipta dihadapannya. Nuansa merah jambu menghiasi sore itu dengan indahnya lampu-lampu kota Jakarta yang seakan tak pernah padam oleh waktu.
Kemacetan pun tak lekang oleh waktu. Kemacetan itu selalu acuh terhadap pengemudi-pengemudi kendaraan pribadi beroda empat yang senang menghabiskan lebarnya jalan raya. Namun, hal ini tak berarti apa-apa untuk mereka. Semakin macet maka semakin lama pula mereka berbincang-bincang tentang masa depan yang hendak mereka raih.
Si putih sangat menyukai angka 27, sedangkan sang hitam menyukai angka 28. Namun, demi si putih ia rela menambahkan angka satu ke dalam angka tersebut. Hingga tercipta selisih dua angka. Itulah masa depan yang sedang mereka ukir dalam papan-papan kehidupan. Entah mengapa, mereka senang berkhayal tentang hal-hal yang tak pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Tibalah pada sebuah gang yang menjadi batas pertemuan mereka. Gang yang selalu menjadi saksi akan gejolak asmara yang mereka bangun. Sebuah senyum manis terpampang dari raut wajah penuh harap. Sang hitam membalas senyuman itu dengan ikhlas. Angin bertiup semilir menjadi pertanda untuk mengakhiri cerita  mereka. Sang hitam pun mulai melaju dengan kencang dan si putih menghilang perlahan dari pandangan sang hitam.
Hujan mengguyur Ibu Kota tercinta dengan derasnya. Entah mengapa laju kuda besi sang hitam menjadi kurang stabil bak kuda yang pincang kakinya. Namun, laju tetap tak berubah. Dengan niat ingin pulang ke rumah tercinta, laju kuda besi itu menjadi sangat lincah.
Tepat di perempatan yang menghubungkan ragunan dengan daerah sekitarnya itu, sebuah bus berhenti dengan mendadak seperti kehabisan solar. Sang hitam yang masih melaju dengan lincah, kaget bukan main melihat bus itu berhenti. Seperti kaleng minuman ringan yang terinjak-injak, sang hitam mencium bagian belakang bus itu.
Aroma amis mulai mengelilingi area sekitar sang hitam. Bercampur dengan gemuruh langit yang tak henti-hentinya menerjang bumi. Terdengar suara orang-orang berteriak minta tolong, namun tak ada yang peduli. Hujan ini seperti mengikat orang-orang itu dengan ribuan ton beban yang membuatnya hanya diam di tempat.
Kaku dan dingin. Itulah yang terasa saat beberapa orang mencoba menariknya dari bagian belakang bis tersebut. Suasana tiba-tiba menjadi mencekam dan terbentuklah kerumunan orang yang menonton pertunjukkan dramatis itu. Malam itu menjadi malam yang kelam.
***
Pagi yang ini menjadi pagi mengesankan bagi si putih setelah semalam diantar pulang oleh si hitam. Namun, ada perasaan yang aneh tatkala ia keluar dari kamarnya menuju jalanan. Terasa angin begitu sunyi tanpa adanya kesejukan di dalamnya.
Mulailah si putih mengirimkan pesan elektronik melalui hape mungilnya itu, tapi pesan itu menunggu.  Ia mencoba menelepon, namun hanya mail box yang didengarnya. Ia tak merisaukan apa pun dan langsung mengerjakan tugas rumahnya.
Lusa kemudian, si putih pergi ke kampus. Sedari tadi, ia menunggu sang hitam datang. Tetapi, tak kunjung tampak batang hidungnya di lorong tempat mereka berdua sering memadu kasih. Senja pun mulai menampakkan diri. Menggantikan siang yang kerap membuat orang kepanasan. Rasa khawatir pun menggerogoti sukma yang kian mencari tahu keberadaan sang hitam.
Lantas, datang seorang temannya yang berjulukan raja rimba itu. Temannya mulai membisikkan sesuatu ke rumah siput tempat gelombang suara akan dicetak dalam memori otak. Terkadang semua itu datang dan pergi dengan cepat. Raut wajah si putih tiba-tiba pucat pasi dan lesu. Ia jatuh pingsan secara mendadak.
***
Sebuah rumah masa depan sudah terbentuk di hadapanku. Rumah yang hanya berukuran 1x2m2 itu mulai meramaikan sebuah TPU di daerah Kota yang berjulukan Kota Belimbing itu. Berhiaskan kayu yang terukir namanya, sang hitam mulai menikmati perjalanan yang panjang.
Tiba-tiba, butiran air dari pinggiran mata si putih mulai menggelinding bebas membasahi pipi merahnya itu. Ia menjadi muram durja. Dengan langkah gontai, ia menyusuri area rumah masa depan itu dan menaburkan bunga-bunga di atasnya. Sekejap saja, suasana menjadi larut dalam keharuan.
Awan mendung mulai menapaki rumah masa depan itu. Menyiraminya dengan kesejukan air yang tak henti-hentinya mendamaikan bumi ini. Si putih tampak mematung. Tak dapat dibedakan antara air matanya dengan guyuran air hujan itu. Semua nampak sama.
“Maafkan aku..” kata-kata itu terucap dengan nada sendu.
Takdir. Tak ada yang mampu mengetahui takdirnya masing-masing. Semua hilang dalam sekejap mata. Namun, cinta masih tetap abadi dalam hati si pemiliknya. Hitam dan putih.

1 komentar: