JEMARI
HANGATMU
Inilah awal aku mengenal
cinta. Ketika angin berhembus saat senja. Menanti mentari terbuai lamunan
malam. Tergantikan oleh sang dewi malam. Berbalut angin berlari-lari mengitari
dua insan yang sedang mabuk asmara.
Bertemankan kopi sebagai penghias
indahnya senja kala itu, mereka bercerita tentang banyak hal. Sebut saja
perempuan itu putih dan pria itu hitam. Entahlah, mengapa aku bisa menyebut
mereka berdua seperti itu. Tetapi, itulah fakta yang kurasa.
Hitam mulai gemulai dalam
melakoni adegan yang isinya rindu-rinduan. Membuat hari itu terasa berlalu
sangat cepat untuk putih. Ada cinta dibalik gombalan yang biasa dianggap
perempuan manapun menjadi basi. Namun, ternyata tidak untuknya. Mengapa bisa
terjadi seperti itu? Oh, ternyata gombalan itu adalah ciri khas si hitam yang
hanya ingin melihat putih tersenyum di hadapannya. Faktanya, itu berhasil
dengan mulus bak setrikaan yang mondar-mandir memuluskan pakaian.
Lantas, hitam mulai melirik
ke arah jemari si putih. Bertanya dalam hatinya, apakah jemari itu mampu
menghangatkan hatinya yang beku dan sunyi akan kehidupan di dunia ini. Mencoba
berusaha tapi agak tersendat oleh keraguan. Dengan niat, hitam mulai
menggenggam dengan perlahan untuk merasakan centi demi centi hangatnya jemari
itu.
“Wow..” ucapnya dalam hati.
Derasnya aliran kehangatan
itu mengalir hingga menembus relung jiwanya. Aku suka. Dia seperti ibu. Ibu
yang kelak akan menghangatkan anak-anaknya. Ibu yang kelak akan menghadiahkan
kasih sayang tanpa batas untuk keluarga yang dicintainya.
Senyum itu mulai muncul ke
permukaan. Membentuk sebuah simpul mungil dengan percikan cinta yang membuat si
hitam mulai berdegup jantungnya. Berdegup hingga tak dapat merasakan lagi
lingkungan di sekitarnya. Percikan itu menimbulkan kejutan khas akan rasa yang
tak dapat di cerna oleh akal. Kejutan yang hanya dapat dirasakan tanpa dapat
diterjemahkan.
Angin mulai berhembus dengan
kencang, seperti iringan mobil pengantin hendak berbulan madu dalam rajutan
cinta. Awan menjadi gelap seraya ingin mengusik kehangatan yang sedang meraka
rasakan. Tetesan air evaporasi mulai terjun bebas menyerang permukaan bumi
dengan kedamaian.
Si hitam bergegas mengajak
putih segera pulang. Pulang ke rumah yang telah dihuninya bersama keluarga
tercintanya. Mereka berlari menuju halaman sebuah gedung berlantai enam yang
menjadi pusat ilmu bagi seluruh mahasiswa di Universitas hijau itu. Naik kuda
besi dengan alakadarnya dan menuju tempat istirahat si hitam.
Namun, tak lama hujan itu
mendamaikan bumi dengan sejuknya air. Mereka berdua langsung tancap gas menuju
daerah pinggiran Jakarta yang berbatasan dengan Kota Tangerang. Teringat salah
satu kejadian terheboh di Indonesia yang berasal dari meledaknya kompor
berbahan bakar gas. Hampir mirip pula nama daerah si putih tersebut, hanya
perlu ditambah “Ci” saja.
Dengan perlahan namun pasti,
sang hitam menggapai hangatnya sore itu dengan genggaman jemari si putih. Si
putih yang periang dan berwibawa itu seakan terhanyut dalam melodi kasmaran
yang sedang tercipta dihadapannya. Nuansa merah jambu menghiasi sore itu dengan
indahnya lampu-lampu kota Jakarta yang seakan tak pernah padam oleh waktu.
Kemacetan pun tak lekang
oleh waktu. Kemacetan itu selalu acuh terhadap pengemudi-pengemudi kendaraan
pribadi beroda empat yang senang menghabiskan lebarnya jalan raya. Namun, hal
ini tak berarti apa-apa untuk mereka. Semakin macet maka semakin lama pula
mereka berbincang-bincang tentang masa depan yang hendak mereka raih.
Si putih sangat menyukai
angka 27, sedangkan sang hitam menyukai angka 28. Namun, demi si putih ia rela
menambahkan angka satu ke dalam angka tersebut. Hingga tercipta selisih dua
angka. Itulah masa depan yang sedang mereka ukir dalam papan-papan kehidupan.
Entah mengapa, mereka senang berkhayal tentang hal-hal yang tak pernah dibayangkan
oleh kebanyakan orang.
Tibalah pada sebuah gang
yang menjadi batas pertemuan mereka. Gang yang selalu menjadi saksi akan
gejolak asmara yang mereka bangun. Sebuah senyum manis terpampang dari raut
wajah penuh harap. Sang hitam membalas senyuman itu dengan ikhlas. Angin
bertiup semilir menjadi pertanda untuk mengakhiri cerita mereka. Sang hitam pun mulai melaju dengan
kencang dan si putih menghilang perlahan dari pandangan sang hitam.
Hujan mengguyur Ibu Kota
tercinta dengan derasnya. Entah mengapa laju kuda besi sang hitam menjadi
kurang stabil bak kuda yang pincang kakinya. Namun, laju tetap tak berubah.
Dengan niat ingin pulang ke rumah tercinta, laju kuda besi itu menjadi sangat
lincah.
Tepat di perempatan yang
menghubungkan ragunan dengan daerah sekitarnya itu, sebuah bus berhenti dengan
mendadak seperti kehabisan solar. Sang hitam yang masih melaju dengan lincah,
kaget bukan main melihat bus itu berhenti. Seperti kaleng minuman ringan yang
terinjak-injak, sang hitam mencium bagian belakang bus itu.
Aroma amis mulai
mengelilingi area sekitar sang hitam. Bercampur dengan gemuruh langit yang tak
henti-hentinya menerjang bumi. Terdengar suara orang-orang berteriak minta
tolong, namun tak ada yang peduli. Hujan ini seperti mengikat orang-orang itu
dengan ribuan ton beban yang membuatnya hanya diam di tempat.
Kaku dan dingin. Itulah yang
terasa saat beberapa orang mencoba menariknya dari bagian belakang bis
tersebut. Suasana tiba-tiba menjadi mencekam dan terbentuklah kerumunan orang
yang menonton pertunjukkan dramatis itu. Malam itu menjadi malam yang kelam.
***
Pagi yang ini menjadi pagi
mengesankan bagi si putih setelah semalam diantar pulang oleh si hitam. Namun,
ada perasaan yang aneh tatkala ia keluar dari kamarnya menuju jalanan. Terasa
angin begitu sunyi tanpa adanya kesejukan di dalamnya.
Mulailah si putih
mengirimkan pesan elektronik melalui hape mungilnya itu, tapi pesan itu
menunggu. Ia mencoba menelepon, namun
hanya mail box yang didengarnya. Ia
tak merisaukan apa pun dan langsung mengerjakan tugas rumahnya.
Lusa kemudian, si putih
pergi ke kampus. Sedari tadi, ia menunggu sang hitam datang. Tetapi, tak
kunjung tampak batang hidungnya di lorong tempat mereka berdua sering memadu
kasih. Senja pun mulai menampakkan diri. Menggantikan siang yang kerap membuat
orang kepanasan. Rasa khawatir pun menggerogoti sukma yang kian mencari tahu
keberadaan sang hitam.
Lantas, datang seorang
temannya yang berjulukan raja rimba itu. Temannya mulai membisikkan sesuatu ke
rumah siput tempat gelombang suara akan dicetak dalam memori otak. Terkadang
semua itu datang dan pergi dengan cepat. Raut wajah si putih tiba-tiba pucat
pasi dan lesu. Ia jatuh pingsan secara mendadak.
***
Sebuah rumah masa depan
sudah terbentuk di hadapanku. Rumah yang hanya berukuran 1x2m2 itu
mulai meramaikan sebuah TPU di daerah Kota yang berjulukan Kota Belimbing itu.
Berhiaskan kayu yang terukir namanya, sang hitam mulai menikmati perjalanan
yang panjang.
Tiba-tiba, butiran air dari
pinggiran mata si putih mulai menggelinding bebas membasahi pipi merahnya itu.
Ia menjadi muram durja. Dengan langkah gontai, ia menyusuri area rumah masa
depan itu dan menaburkan bunga-bunga di atasnya. Sekejap saja, suasana menjadi
larut dalam keharuan.
Awan mendung mulai menapaki
rumah masa depan itu. Menyiraminya dengan kesejukan air yang tak henti-hentinya
mendamaikan bumi ini. Si putih tampak mematung. Tak dapat dibedakan antara air
matanya dengan guyuran air hujan itu. Semua nampak sama.
“Maafkan aku..” kata-kata
itu terucap dengan nada sendu.
Takdir. Tak ada yang mampu
mengetahui takdirnya masing-masing. Semua hilang dalam sekejap mata. Namun,
cinta masih tetap abadi dalam hati si pemiliknya. Hitam dan putih.
romantis :)
BalasHapus