Sabtu, 28 Januari 2012

Cerpen Nadi dalam Kotak Masuk


Nadi dalam Kotak Masuk

29 Kotak Masuk.
Rangkaian huruf itu membangunkanku dari segala hal berbau kepenatan. Ia hadir dengan senyum terindah yang pernah ada. Aku rasanya sangat rela memberikan apapun untuk dapat merasakan sensasi rasa yang seperti ini setiap detiknya. Meski hanya rangakaian huruf biasa tanpa kesan, namun aku sangat begitu puas melihatnya. Rasanya aku tak membutuhkan apapun sekarang kecuali hubungan internet yang cepat tanpa harus memproses. Ingin sekali membuang adat ini setiap aku ingin membuka isi dari pesan yang tersampaikan dengan lambat oleh radar yang kasat mata.
hari ini aku kuliah. Tapi cuma satu mata kuliah. Sebenarnya tidak mau hadir. Tapi terlanjur janji sama kamu, de... buat main futsal! Kamu pasti nonton kan?”
Rangkaian pertanyaan itu seakan menghanyutkanku ke dalam ombak angin penuh rasa. Aku sangat begitu menikmatinya. Aku merasa lebih dari cukup meski hanya menerima sebuah pesan singkat seperti ini. Ya, aku merasa sangat puas. Hidup tak perlu tergantung sekarang saat pesan-pesan ini begitu terasa menyenangkan dan membahagiakan. Meski aku tau akhir dari kisah ini tak selamanya indah. Meski aku tau ternyata penolakan dari dirinya bisa saja hadir mengalun pelan di relung sukmaku yang suatu hari nanti akan tertusuk perih. Kadang rasa yang terlalu berlebihan dapat membuat seseorang buta dan akhirnya terbunuh. Dan itu tak akan pernah terjadi padaku. Aku tak akan pernah menyerah. Meski hati ini tampaknya sudah terpaut untuk mulai mengharap padanya.

Aku memulai permainan ini dengan tidak sengaja. Aku menumbuhkan perasaan penasaran di dirinya bukan juga suatu kesengajaan. Jujur, hal yang aku lakukan ini murni karena aku mengagumminya. Aku kagum dengan sosoknya. Sosoknya yang tampan dan gagah. Sosoknya yang berkharisma. Sosoknya yang tanpa celah hingga tak memerlukan diksi di setiap alur detil pencitraan tubuhnya. Ia mampu membuat beberapa juniornya terpana dengan derap langkahnya yang mantap dan tertata ulang bak alunan lagu di tangga nada. Sosok yang tercipta untuk dikagumi. Sosok yang membuatku setiap harinya ingin selalu merasa tersenyum. Sosok yang teristimewa.
Tak perlu banyak tindakan untuk mengakui bahwa ia teramat spesial. Cukup dengan berjalan di jalan lurus yang mulus saja rasanya aku sudah cukup puas memandanginya setiap hari. Ya. Sosok ini benar-benar membuatku merasa melayang setiap hari. Dengan senyum khas yang menawan, hidup rasanya cukup hanya digunakan untuk memandanginya. Dengan gaya santai yang terbilang apik, hidup rasanya cukup hanya digunakan untuk menunggu pesan darinya, dari seniorku. Galuh Nadi Isnaini.

Jalan tampaknya terasa sangat terjal saat aku melihat punggungnya berkelabat di tengah lapangan. Ia tampak asyik. Sesekali memandang berkeliling. Mungkin menanti seseorang, atau mungkin….. menanti diriku. Entahlah hanya dirinya dan tuhan yang tau apa yang sedang dipikirkannya. Hanya dirinya dan tuhan yang tau apa yang akan mungkin dilakukannya jika bertemu denganku. Hah, duduk disini dan melihatnya dari jauh rasanya cukup mewakili rasa penasaranku terhadapnya. Ingin rasanya meneriakki dirinya bahwa aku adalah gadis usil yang menitipkannya puisi di kotak masuk salah satu jejaring sosial pribadi miliknya. Ingin sekali menghampirinya dan mengucap bahwa aku yang selama ini menjadi teman ngobrolnya di kotak yang menghubungkanku dengan dirinya. Ingin rasanya berlari ke hadapannya dan mengucap bahwa aku begitu menggagumi sosoknya yang penuh dengan aura kebahagiaan. Ya, ia tampak begitu sempurna. Tak ada hal lain yang aku harapkan selain berjam-jam memandangi badan tegapnya.
Ya, ampun…… mungkinkah aku jatuh cinta? Mungkinkah aku memberikan perasaan yang selama ini kupagari dengan baik kepada dirinya? Mungkinkah? Sekuat apapun kata mungkin, hanya ada kata tidak boleh. Tidak boleh terpana. Tidak boleh tergoda. Dan tidak boleh membiarkan diriku terjebak cinta yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuatku sakit hati dan terluka.

Nadi semakin diatas langit. Ia emakin terasa jauh saat aku mulai mengharap hal-hal diluar kendali otakku. Perasaanku terhadapnya mulai tidak beres. Perasaanku terhadapnya mulai menemukan titik akses dimana tak sepatutnya menyukai orang ini terlalu dalam. Ia semakin terasa membayangi diriku. Padahal semakin hari, ia mulai terlihat cuek dengan kotak masuk yang coba aku lampirkan. Bahkan, terakhir kali ia tidak membalasnya. Mungkin ia belum melihatnya. Mungkin ia mulai merasa bahwa aku teman yang membosankan. Mungkin……..
Semakin banyak kata mungkin, aku semakin ingin jatuh. Aku semakin ingin menangis. Terlalu banyak spekulasi negatif, membuatku menyadari satu hal. Aku telah menyukainya lebih dari aku menyukainya kemarin. Aku bahkan mulai berani melepaskan harapan kosong itu berkeliaran di aliran deras darahku. Hari ini setiap cairan darahnya mengalir satu kata, Nadi. Hari ini setiap deru CO2 yang keluar dalam setiap detik waktu berisikan huruf-huruf yang dapat merangkaikan namanya di atas hatiku. Ya, ampun rasa itu seperti mulai menusukku. Ia mulai membayangi setiap asa dalam benakku yang tak tersampaikan dengan baik seperti hubungan-hubungan internet yang setiap kali aku jalani demi membalas kata-kata canda penuh rasa yang membuatku melayang dan merasa senang.
Aku terjebak dalam permainan yang aku buat. Aku terjebak untuk mengalah pada keadaan dimana dari awal aku telah berjanji untuk tidak melanggar norma-norma yang telah tertulis di dalamnya. Aku mulai melepaskan keyakinan bahwa aku dengan pria dewasa awal bernama Nadi itu hanya sekedar mimpi. Ia telah berdiri di atas langit dari awal. Ia tak pernah akan mau turun untuk menghampiriku dan menarik uluran perhatian yang ternyata diam-diam aku tebar. Dia tetap akan disana. Di atas langit yang sulit kujangkau. Di atas langit yang sulit untuk kudaki terjalnya.

Kak, apa kabar kamu? sudah lama tidak berbicara dengan kamu. Kamu sibuk ya, kak? Sampai tidak punya waktu untuk membalas pesanku? sedih lho, rasanya tidak menerima balasan dari kamu. hehehehe. Aku hanya bercanda, kak. Aku tidak serius ,kok. Tapi aku harap kalau pun kamu memang tidak mau berniat membalas pesan dari aku, lebih baik kamu blog aku. Jawaban itu lebih baik. Hehehehe. Yang ini aku juga bercanda.”
Ungkapan terakhir yang aku ketik di kotak masuknya, sebenarnya bukan hanya candaan. Itu adalah isi dari keseriusan yang semoga ditemukannya dalam kesadaran akan rasa yang saat ini sudah mulai kupendam dengan bosan. Sudah hampir dua minggu. Dan ia juga tidak membalas pesan dariku. Memang hampir setiap hari aku menyempatkan diri untuk melihat profilnya. Untuk melihat apakah ia hidup disana. Dan bodohnya aku, semakin aku melihat nafasnya dalam jejaring sosial pribadinya maka semakin terasa sakit. Sebab itu adalah semiotik yang diungkapnya. Sebab itu adalah ucapan bisu yang diutarakannya. Sebab itu adalah realita bahwa ia memang tak berniat lagi untuk membalas pesan yang aku titipkan dengan sangat baik di jejaring sosial ini.
Aku berharap dia membalas sesuatu disana. Entah itu jawaban yang menyenangnkan. Entah itu jawaban yang menyakitkan. Dua-duanya sama saja. Sama-sama membuatku sadar bahwa aku memang sedang bermimpi disini. Merasakan bahwa suatu saat bisa meraihnya itu adalah harapan konyol. Merasakan bahwa ia akan membalas setiap pesanku dengan gembira tanpa segan, ternyata itu hanya selipan dari setiap jejak kelam kebodohanku. Aku memang terpenjara saat ini. Dalam raut kesedihan penuh kenyataan pahit, aku bersikap memang seharusnya tak mengharap apa-apa. Ya, mulai hari ini aku harus terbiasa.
Tidak ada 29 kotak masuk yang ada hanya 28 kotak masuk.

Sudah sekitar dua minggu aku menghindari jejaring sosial itu. Aku menghindari mengingat bagaimana rasanya terpaku dan penasaran apakah Nadi membalas pesanku atau tidak. Ya. Disini aku pura-pura tidak ingin. Padahal kenyataan yang ada aku sangat ingin. Sangat ingin melihat apakah kotak masukku berubah. Mungkin saja berubah. Tapi itu bukan darinya. Bukan dari Galuh Nadi Isnaini.
Hei, Annisa... aku menunggu kamu di facebook. Kemana saja? Sudah seminggu aku mengirim pesan dinding, tapi tidak di balas. Jangan begitu dong. Kalau kamu buka facebook balas pesan dinding dari aku ya.”
Bunyi getaran dari telepon genggamku ternyata berisi pesan singkat dari salah satu sahabatku. Beberapa hari ini ia memang selalu menyuruhku membuka jejaring sosial itu. Padahal ia yang paling tahu kalau aku sedang menghindarinya. Padahal ia yang paling mengerti mengapa aku membiarkan jejaring sosial itu terlunta-lunta tanpa perhatian. Tapi kenapa justru ia yang paling keras berdiri paling depan untuk membela hak asasi jejaring sosial itu. Apa aku membukanya saja? Tapi….. aku tak ingin. Tapi…. Aku sangat penasaran. Tapi….. ada Galuh Nadi Isnaini yang kutunggu di jejaring sosial itu. Tapi…… aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di sana. Tapi…… ada hal yang membuatku sakit jika membukanya. Tapi…………… sudahlah buka saja!

Aku membukanya. Aku mengetik alamat e-mail dan passwordku di jejaring sosial itu. Perasaan tak enak mulai menjalari tubuhku saat hubungan internet mulai menyambung kearah yang benar. Tak ada yang spesial di jejaring sosial pribadiku. Tak ada yang berubah. Yang berubah hanya pemberitahuan yang menujukkan aktivitas di dalam jejaring sosial itu. Sedangkan kotak masuk yang aku harapkan berubah, tak kunjung berubah. Kotak masuk itu tak juga beranjak ke angka 29 seperti apa yang aku harapkan. Aku pun mulai menyerah. Mungkin memang cukup sampai kemarin. Mungkin aku memang sudah di blog seperti permintaan terakhirku.
Sudahlah! Aku akhirnya memutuskan untuk menutupnya. Namun sebelumnya aku berkunjung sebentar untuk melihat aktivitas yang terjadi selama aku tak membuka jejaring sosial ini. Di dalam pemberitahuan itu tidak ada yang menarik. Tidak ada yang spesial. Kecuali pesan dinding yang memang terpaut di profilku. Pesan dinding itu dari sahabatku.
Annisa, lusa waktunya kita ke kampus. Ada acara yang harus kamu datangi. Jangan lupa ya... aku tunggu di tempat biasa. Pokoknya, kamu harus datang. Jangan sampai tidak datang. Kalau kamu sampai menolaknya, kamu pasti menyesal.”

Terik menggengam bumi saat aku mulai menginjakkan kakiku di kampus. Aku memandang penjuru. Kampus memang agak ramai. Kontras dengan aktivitasnya yang terhitung sedang dalam keadaan libur. Namun tetap saja, status libur yang tercetak lebar dan merah di tanggalan kampus tak membuat surut para mahasiswa untuk datang dan menghabiskan waktu mereka seharian untuk merasakan suasana kampus. Mahasiswa-mahasiswa yang seperti ini tergolong ke dalam mahasiswa yang begitu menjunjung tinggi kampus. Mahasiswa yang mencintai tempat di mana ia mendapat seribu pengalaman.
“ada acara apa?” tanyaku begitu aku melihat sahabatku berdiri bersandar di depan pintu. Ia hanya tersenyum. Tak menjawab apa-apa seakan yang aku harapkan memang jawaban atas senyuman itu.
“kok, kamu malah tersenyum?”
“nanti kamu juga tau! Lihat ke atas panggung tuh…..” celetuknya. Aku pun menoleh. Terlihat ada beberapa orang berdiri di atas panggung yang entah untuk apa tercipta di tengah-tengah halaman perpustakaan kampus yang memang begitu luas. Aku ingin bertanya. Ada apa memangnya di atas sana? Namun aku menyadari satu hal saat sosok itu hadir dan tersenyum. Ya. Di panggung yang tak begitu luas itu ia berdiri. Badannya yang tegap dengan kulit coklat gelap, menggantung sebuah alat musik berbodi indah. Aku tertegun. Orang yang selama ini kunanti, hari ini berdiri di depan sana dengan beribu mata yang memandang kearahnya.
“selamat siang semua! Hari ini kita dari jurusan seni musik fakultas bahasa dan seni akan membawakan dua lagu. Lagu pertama tercipta untuk seorang gadis yang unik. Dia gadis yang sukses banget membuat saya mati penasaran. Hei, maaf ya, sudah membuat kamu kesal. Setelah ini saya janji akan buka facebook dan membalas pesan dari kamu……” ucapnya lantang. Membuat darahku berdesir. Aku terhenyak. Ia tak sengaja tak membalas kotak masuk itu. Ia tak sengaja keluar dari kotak masuk itu. Hari ini, aku baru menyadari bahwa aku tak lagi menyukainya. Rasa itu sudah tergantikan dengan rasa yang lebih besar. Nadi….. kamu benar-benar diatas langit sekarang. Terima kasih atas 29 kotak masuknya.


2 komentar: