Nadi dalam Kotak Masuk
29 Kotak Masuk.
Rangkaian huruf itu membangunkanku dari segala hal berbau kepenatan. Ia
hadir dengan senyum terindah yang pernah ada. Aku rasanya sangat rela
memberikan apapun untuk dapat merasakan sensasi rasa yang seperti ini setiap
detiknya. Meski hanya rangakaian huruf biasa tanpa kesan, namun aku sangat
begitu puas melihatnya. Rasanya aku tak membutuhkan apapun sekarang kecuali
hubungan internet yang cepat tanpa harus memproses. Ingin sekali membuang adat
ini setiap aku ingin membuka isi dari pesan yang tersampaikan dengan lambat
oleh radar yang kasat mata.
“hari ini aku kuliah. Tapi cuma
satu mata kuliah. Sebenarnya tidak mau hadir. Tapi terlanjur janji sama kamu,
de... buat main futsal! Kamu pasti nonton kan ?”
Rangkaian pertanyaan itu seakan menghanyutkanku ke dalam ombak angin
penuh rasa. Aku sangat begitu menikmatinya. Aku merasa lebih dari cukup meski
hanya menerima sebuah pesan singkat seperti ini. Ya, aku merasa sangat puas.
Hidup tak perlu tergantung sekarang saat pesan-pesan ini begitu terasa
menyenangkan dan membahagiakan. Meski aku tau akhir dari kisah ini tak
selamanya indah. Meski aku tau ternyata penolakan dari dirinya bisa saja hadir
mengalun pelan di relung sukmaku yang suatu hari nanti akan tertusuk perih.
Kadang rasa yang terlalu berlebihan dapat membuat seseorang buta dan akhirnya
terbunuh. Dan itu tak akan pernah terjadi padaku. Aku tak akan pernah menyerah.
Meski hati ini tampaknya sudah terpaut untuk mulai mengharap padanya.
Aku memulai permainan ini dengan tidak sengaja. Aku menumbuhkan perasaan
penasaran di dirinya bukan juga suatu kesengajaan. Jujur, hal yang aku lakukan
ini murni karena aku mengagumminya. Aku kagum dengan sosoknya. Sosoknya yang
tampan dan gagah. Sosoknya yang berkharisma. Sosoknya yang tanpa celah hingga
tak memerlukan diksi di setiap alur detil pencitraan tubuhnya. Ia mampu membuat
beberapa juniornya terpana dengan derap langkahnya yang mantap dan tertata
ulang bak alunan lagu di tangga nada. Sosok yang tercipta untuk dikagumi. Sosok
yang membuatku setiap harinya ingin selalu merasa tersenyum. Sosok yang
teristimewa.
Tak perlu banyak tindakan untuk mengakui bahwa ia teramat spesial. Cukup
dengan berjalan di jalan lurus yang mulus saja rasanya aku sudah cukup puas
memandanginya setiap hari. Ya. Sosok ini benar-benar membuatku merasa melayang
setiap hari. Dengan senyum khas yang menawan, hidup rasanya cukup hanya
digunakan untuk memandanginya. Dengan gaya
santai yang terbilang apik, hidup rasanya cukup hanya digunakan untuk menunggu
pesan darinya, dari seniorku. Galuh Nadi Isnaini.
Jalan tampaknya terasa sangat terjal saat aku melihat punggungnya
berkelabat di tengah lapangan. Ia tampak asyik. Sesekali memandang berkeliling.
Mungkin menanti seseorang, atau mungkin….. menanti diriku. Entahlah hanya
dirinya dan tuhan yang tau apa yang sedang dipikirkannya. Hanya dirinya dan
tuhan yang tau apa yang akan mungkin dilakukannya jika bertemu denganku. Hah,
duduk disini dan melihatnya dari jauh rasanya cukup mewakili rasa penasaranku
terhadapnya. Ingin rasanya meneriakki dirinya bahwa aku adalah gadis usil yang
menitipkannya puisi di kotak masuk salah satu jejaring sosial pribadi miliknya.
Ingin sekali menghampirinya dan mengucap bahwa aku yang selama ini menjadi
teman ngobrolnya di kotak yang menghubungkanku dengan dirinya. Ingin rasanya
berlari ke hadapannya dan mengucap bahwa aku begitu menggagumi sosoknya yang
penuh dengan aura kebahagiaan. Ya, ia tampak begitu sempurna. Tak ada hal lain
yang aku harapkan selain berjam-jam memandangi badan tegapnya.
Ya, ampun…… mungkinkah aku jatuh cinta? Mungkinkah aku memberikan
perasaan yang selama ini kupagari dengan baik kepada dirinya? Mungkinkah?
Sekuat apapun kata mungkin, hanya ada kata tidak boleh. Tidak boleh terpana.
Tidak boleh tergoda. Dan tidak boleh membiarkan diriku terjebak cinta yang
jelas-jelas pada akhirnya akan membuatku sakit hati dan terluka.
Nadi semakin diatas langit. Ia emakin terasa jauh saat aku mulai
mengharap hal-hal diluar kendali otakku. Perasaanku terhadapnya mulai tidak
beres. Perasaanku terhadapnya mulai menemukan titik akses dimana tak sepatutnya
menyukai orang ini terlalu dalam. Ia semakin terasa membayangi diriku. Padahal
semakin hari, ia mulai terlihat cuek dengan kotak masuk yang coba aku
lampirkan. Bahkan, terakhir kali ia tidak membalasnya. Mungkin ia belum
melihatnya. Mungkin ia mulai merasa bahwa aku teman yang membosankan.
Mungkin……..
Semakin banyak kata mungkin, aku semakin ingin jatuh. Aku semakin ingin
menangis. Terlalu banyak spekulasi negatif, membuatku menyadari satu hal. Aku
telah menyukainya lebih dari aku menyukainya kemarin. Aku bahkan mulai berani
melepaskan harapan kosong itu berkeliaran di aliran deras darahku. Hari ini
setiap cairan darahnya mengalir satu kata, Nadi. Hari ini setiap deru CO2 yang
keluar dalam setiap detik waktu berisikan huruf-huruf yang dapat merangkaikan
namanya di atas hatiku. Ya, ampun rasa itu seperti mulai menusukku. Ia mulai
membayangi setiap asa dalam benakku yang tak tersampaikan dengan baik seperti
hubungan-hubungan internet yang setiap kali aku jalani demi membalas kata-kata
canda penuh rasa yang membuatku melayang dan merasa senang.
Aku terjebak dalam permainan yang aku buat. Aku terjebak untuk mengalah
pada keadaan dimana dari awal aku telah berjanji untuk tidak melanggar
norma-norma yang telah tertulis di dalamnya. Aku mulai melepaskan keyakinan
bahwa aku dengan pria dewasa awal bernama Nadi itu hanya sekedar mimpi. Ia
telah berdiri di atas langit dari awal. Ia tak pernah akan mau turun untuk
menghampiriku dan menarik uluran perhatian yang ternyata diam-diam aku tebar.
Dia tetap akan disana. Di atas langit yang sulit kujangkau. Di atas langit yang
sulit untuk kudaki terjalnya.
“Kak, apa kabar kamu? sudah lama
tidak berbicara dengan kamu. Kamu sibuk ya, kak? Sampai tidak punya waktu untuk
membalas pesanku? sedih lho, rasanya tidak menerima balasan dari kamu.
hehehehe. Aku hanya bercanda, kak. Aku tidak serius ,kok. Tapi aku harap kalau
pun kamu memang tidak mau berniat membalas pesan dari aku, lebih baik kamu blog
aku. Jawaban itu lebih baik. Hehehehe. Yang ini aku juga bercanda.”
Ungkapan terakhir yang aku ketik di kotak masuknya, sebenarnya bukan
hanya candaan. Itu adalah isi dari keseriusan yang semoga ditemukannya dalam
kesadaran akan rasa yang saat ini sudah mulai kupendam dengan bosan. Sudah
hampir dua minggu. Dan ia juga tidak membalas pesan dariku. Memang hampir
setiap hari aku menyempatkan diri untuk melihat profilnya. Untuk melihat apakah
ia hidup disana. Dan bodohnya aku, semakin aku melihat nafasnya dalam jejaring
sosial pribadinya maka semakin terasa sakit. Sebab itu adalah semiotik yang
diungkapnya. Sebab itu adalah ucapan bisu yang diutarakannya. Sebab itu adalah
realita bahwa ia memang tak berniat lagi untuk membalas pesan yang aku titipkan
dengan sangat baik di jejaring sosial ini.
Aku berharap dia membalas sesuatu disana. Entah itu jawaban yang
menyenangnkan. Entah itu jawaban yang menyakitkan. Dua-duanya sama saja.
Sama-sama membuatku sadar bahwa aku memang sedang bermimpi disini. Merasakan
bahwa suatu saat bisa meraihnya itu adalah harapan konyol. Merasakan bahwa ia
akan membalas setiap pesanku dengan gembira tanpa segan, ternyata itu hanya
selipan dari setiap jejak kelam kebodohanku. Aku memang terpenjara saat ini.
Dalam raut kesedihan penuh kenyataan pahit, aku bersikap memang seharusnya tak
mengharap apa-apa. Ya, mulai hari ini aku harus terbiasa.
Tidak ada 29 kotak masuk yang ada
hanya 28 kotak masuk.
Sudah sekitar dua minggu aku menghindari jejaring sosial itu. Aku
menghindari mengingat bagaimana rasanya terpaku dan penasaran apakah Nadi
membalas pesanku atau tidak. Ya. Disini aku pura-pura tidak ingin. Padahal
kenyataan yang ada aku sangat ingin. Sangat ingin melihat apakah kotak masukku
berubah. Mungkin saja berubah. Tapi itu bukan darinya. Bukan dari Galuh Nadi Isnaini.
“Hei, Annisa... aku menunggu kamu
di facebook. Kemana saja? Sudah seminggu aku mengirim pesan dinding, tapi tidak
di balas. Jangan begitu dong. Kalau kamu buka facebook balas pesan dinding dari
aku ya.”
Bunyi getaran dari telepon genggamku ternyata berisi pesan singkat dari
salah satu sahabatku. Beberapa hari ini ia memang selalu menyuruhku membuka
jejaring sosial itu. Padahal ia yang paling tahu kalau aku sedang
menghindarinya. Padahal ia yang paling mengerti mengapa aku membiarkan jejaring
sosial itu terlunta-lunta tanpa perhatian. Tapi kenapa justru ia yang paling
keras berdiri paling depan untuk membela hak asasi jejaring sosial itu. Apa aku
membukanya saja? Tapi….. aku tak ingin. Tapi…. Aku sangat penasaran. Tapi…..
ada Galuh Nadi Isnaini yang kutunggu di jejaring sosial itu. Tapi…… aku
benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di sana . Tapi…… ada hal yang membuatku sakit
jika membukanya. Tapi…………… sudahlah buka saja!
Aku membukanya. Aku mengetik alamat e-mail dan passwordku di jejaring
sosial itu. Perasaan tak enak mulai menjalari tubuhku saat hubungan internet
mulai menyambung kearah yang benar. Tak ada yang spesial di jejaring sosial
pribadiku. Tak ada yang berubah. Yang berubah hanya pemberitahuan yang
menujukkan aktivitas di dalam jejaring sosial itu. Sedangkan kotak masuk yang
aku harapkan berubah, tak kunjung berubah. Kotak masuk itu tak juga beranjak ke
angka 29 seperti apa yang aku harapkan. Aku pun mulai menyerah. Mungkin memang
cukup sampai kemarin. Mungkin aku memang sudah di blog seperti permintaan
terakhirku.
Sudahlah! Aku akhirnya memutuskan untuk menutupnya. Namun sebelumnya aku
berkunjung sebentar untuk melihat aktivitas yang terjadi selama aku tak membuka
jejaring sosial ini. Di dalam pemberitahuan itu tidak ada yang menarik. Tidak
ada yang spesial. Kecuali pesan dinding yang memang terpaut di profilku. Pesan
dinding itu dari sahabatku.
“Annisa, lusa waktunya kita ke
kampus. Ada
acara yang harus kamu datangi. Jangan lupa ya... aku tunggu di tempat biasa.
Pokoknya, kamu harus datang. Jangan sampai tidak datang. Kalau kamu sampai
menolaknya, kamu pasti menyesal.”
Terik menggengam bumi saat aku mulai menginjakkan kakiku di kampus. Aku
memandang penjuru. Kampus memang agak ramai. Kontras dengan aktivitasnya yang
terhitung sedang dalam keadaan libur. Namun tetap saja, status libur yang
tercetak lebar dan merah di tanggalan kampus tak membuat surut para mahasiswa
untuk datang dan menghabiskan waktu mereka seharian untuk merasakan suasana
kampus. Mahasiswa-mahasiswa yang seperti ini tergolong ke dalam mahasiswa yang
begitu menjunjung tinggi kampus. Mahasiswa yang mencintai tempat di mana ia
mendapat seribu pengalaman.
“ada acara apa?” tanyaku begitu aku melihat sahabatku berdiri bersandar
di depan pintu. Ia hanya tersenyum. Tak menjawab apa-apa seakan yang aku
harapkan memang jawaban atas senyuman itu.
“kok, kamu malah tersenyum?”
“nanti kamu juga tau! Lihat ke atas panggung tuh…..” celetuknya. Aku pun
menoleh. Terlihat ada beberapa orang berdiri di atas panggung yang entah untuk
apa tercipta di tengah-tengah halaman perpustakaan kampus yang memang begitu
luas. Aku ingin bertanya. Ada apa memangnya di
atas sana ?
Namun aku menyadari satu hal saat sosok itu hadir dan tersenyum. Ya. Di
panggung yang tak begitu luas itu ia berdiri. Badannya yang tegap dengan kulit
coklat gelap, menggantung sebuah alat musik berbodi indah. Aku tertegun. Orang
yang selama ini kunanti, hari ini berdiri di depan sana dengan beribu mata yang memandang
kearahnya.
“selamat siang semua! Hari ini kita dari jurusan seni musik fakultas
bahasa dan seni akan membawakan dua lagu. Lagu pertama tercipta untuk seorang
gadis yang unik. Dia gadis yang sukses banget membuat saya mati penasaran. Hei,
maaf ya, sudah membuat kamu kesal. Setelah ini saya janji akan buka facebook
dan membalas pesan dari kamu……” ucapnya lantang. Membuat darahku berdesir. Aku
terhenyak. Ia tak sengaja tak membalas kotak masuk itu. Ia tak sengaja keluar
dari kotak masuk itu. Hari ini, aku baru menyadari bahwa aku tak lagi
menyukainya. Rasa itu sudah tergantikan dengan rasa yang lebih besar. Nadi…..
kamu benar-benar diatas langit sekarang. Terima kasih atas 29 kotak masuknya.
hai.. ini ceritanya fiktif atau dari kisah nyata tuuh?
BalasHapusini kisah nyata kok...
Hapus