Minggu, 22 Januari 2012

Naskah Drama "Opera Kelamin"


Juara Ke-2 Lomba Penulisan Naskah Lakon, PEKSIMIDA 2010, DKI Jakarta
Juara Harapan Ke-2 Lomba Penulisan Naskah Lakon, PEKSIMINAS 2010, Tanjung Pura, Kalimantan

OPERA KELAMIN
Babak I
Adegan I
PANGGUNG GELAP. MUNCUL ORANG-ORANG BERPAKAIAN HITAM SAMBIL MEMBAWA KAIN PUTIH MEMBENTANG PANJANG. KEMUDIAN MEREKA BERLARI. BERTERIAK-TERIAK KATA BENAR DAN SALAH. KEMUDIAN HILANG SECARA PERLAHAN. SEPI SEJENAK. LAMPU TERANG DI SEBELAH KANAN. MUNCUL WANITA DENGAN PAKAIAN PUTIH.
Wanita:
(berjalan perlahan-lahan menuju ke sebelah kiri) Kenapa begini? Semua gelap. Dimana aku berada? Begitu gelap sekali di sini. Hai, apa ada yang dengar suaraku? Hai, kebenaran. Dimanakah kamu? (hilang di sebelah kiri)
LAMPU PADAM
Sebuah meja kayu yang di kelilingi oleh tiga buah kursi. Terdapat Ayah yang sedang duduk sambil membaca koran dengan serius. Si Budi sibuk memakai sepatu sendiri dan kelihatan agak bengong.
LAMPU TERANG HANYA TERANG DI SEBELAH KANAN PANGGUNG.
Ayah :
Budi?
Budi:
Hmm..
Ayah:
(agak kesal) Budi, kalau dipanggil Ayah, jangan menyahut seperti itu.  Kurang sopan, Nak.
Budi:
Iya, Ayah. Ada apa, Yah?
Ayah:
Semalam kamu sudah mengerjakan PR bahasa Indonesia belum?
Budi:
Sudah mengerjakan tapi baru setengahnya, Yah.
Ayah:
(bingung) Lah, kok begitu? Padahalkan hanya sebuah PR bahasa Indonesia saja?
Budi :
Bingung, Yah. Begitu rumit dengan banyaknya istilah-istilah yang tidak Budi ketahui.
Ayah:
Maksudnya apa?
Budi:
Pelajaran bahasa Indonesia memang pelajaran yang terlihat mudah, Yah. Tapi jika sudah disuruh mengerjakan soal-soalnya, MasyaAllah, susahnya minta ampun dan membingungkan banget.
Ayah:
Nah, maka dari itu, Bud. Kamu kan sudah kelas enam SD, Rajin-rajinlah belajar dan jangan main-main melulu. Ingatlah, pendidikan itu adalah hak bagi seluruh warga Indonesia. Maka dari itu, tuntutlah ilmu sampai akhir hayatmu.
Budi:
Iya, Ayah.
(Ibu masuk sambil membawa tas kerja dan bekal untuk Budi.)
Ibu:
Ayah, ini tasnya.
Ayah:
(sambil tersenyum) Terimakasih, Bu. Ngomong-ngomong, Ibu mau nitip apa kalau Ayah pulang nanti?
Ibu:
Ibu titip Ayah saja (tersenyum). Semoga selamat dalam perjalanan ya, Yah. Amin.
Ayah:
Amin.
Budi:
(agak sinis) Ibu, mana bekalnya, Budi?
Ibu:
Oh iya, Ibu sampai lupa. Gara-gara Ayah nih.
Ayah:
Lah, kok jadi Ayah yang kena sasarannya.
Budi:
(agak kesal) Ya ampun, Ibu dan Ayah kok malah bertengkar sih. Budi udah telat nih. Mana bekalnya Budi, Bu?
Ibu:
Iya, ini Ibu lagi masukin ke dalam tas kamu.
Ayah:
 Ayo, Bud. Ayah antar kamu ke sekolah.
Budi:
Ayo, Yah. Bu, Budi berangkat ke sekolah dulu yah. Assalamualaikum (sambil mencium tangan).
Ibu:
Waalaikumsalam, belajar yang tekun, Nak.
Ayah:
Bu, Ayah berangkat dulu yah.
Ibu:
Hati-hati ya, Ayah.
LAMPU PADAM.

Adegan II
Sebuah papan tulis berwarna putih dengan dua penghapus. Ada seorang guru perempuan sedang mengajar dua puluh anak muridnya. Suasana menjadi gaduh karena ada murid yang sedang membicarakan sesuatu hal di tempat duduk paling belakang, bersebelahan dengan Budi.
LAMPU TERANG HANYA DI TENGAH PANGGUNG.
Bu Guru:
Iya anak-anak. Sekarang kita belajar pelajaran IPA. Kita akan belajar mengenai sistem perkembangbiakan pada tanaman. Ada yang tahu, apa saja sistem perkembangbiakan tersebut?
Murid 1:
Putik, Bu.
Bu Guru:
Bagus jawabannya. Ada lagi yang lainnya?
Murid 2:
Benang sari, Bu.
Bu Guru:
Benar sekali jawabannya. Wah, ternyata murid-murid Ibu pintar semuanya.
Murid 3:
Bu!
Bu Guru:
Iya, ada pertanyaan?
Murid 3:
Bu, kalau liang termasuk ga?
Bu Guru:
(diam sejenak sambil berpikir) Wah, kalau itu tidak termasuk, muridku sayang. Baiklah, sekarang PR untuk pelajaran IPA hari ini adalah menggambar bunga dan jangan lupa diberi keterangan pada setiap bagian-bagiannya yah. Maaf sebelumnya kalau ibu terburu-buru karena hari ini ibu ada acara dari dinas.
Budi:
Bersiap! Memberi salam!
Serempak:
Assalamualaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Bu Guru:
Langsung pulang ke rumah ya, anak-anak! Jangan main dulu.
LAMPU TERANG DI TEMPAT BU GURU SAJA.
Murid-murid telah keluar semua, hanya ada Bu Guru yang sedang merapikan semua buku-buku yang barusan dipakai mengajar. Tak lama berselang, Budi masuk dengan wajah takut dan penasaran. Budi berjalan menuju Bu Guru dengan ragu-ragu.
LAMPU TERANG DI TEMPAT BU GURU DAN BUDI.
Bu Guru:
Eh, Budi. Ada perlu dengan Ibu, Bud?
Budi:
(agak gagap) Hmm...Budi ingin bertanya sesuatu sama ibu tapi Budi takut kalau nantinya Ibu malah jadi marah.
Bu Guru:
Sudah, bilang saja. Ibu ga akan marah kok (meyakinkan sambil menatap Budi).
Budi:
Begini, Bu. Tadi ketika pelajaran IPA, Budi mendengar sebuah kata baru. Kata itu adalah liang, Bu. Nah, yang mau Budi tanyain, liang itu sejenis apa yah, Bu?
Bu Guru:
(hanya tersenyum)
Budi:
Mengapa Ibu malah tersenyum?
Bu Guru:
(tersenyum sambil mengeluskan tangan kanan ke rambut Budi) Kamu cerdas yah. Rasa ingin tahu kamu akan hal-hal yang baru sangat tinggi sekali. Namun, Ibu hanya bisa menyarankan begini, cobalah kamu tanyakan ini kepada kedua orangtua kamu. Mereka pasti bisa menjawabnya dengan bijak.
Budi:
Baiklah, Bu. Nanti akan saya tanyakan pada orangtua saya di rumah.
Bu Guru:
Nah, kalau begitu kamu segera pulang yah. Hati-hati di jalan.
Budi:
Permisi, Bu.
LAMPU REDUP

Adegan III
Di ruang tamu, terdapat meja dengan taplak berwarna hijau dan di kelilingi oleh tiga buah kursi. Ibu budi sedang membereskan ruang tamu tersebut. Terdengar nyanyian riang dari radio mungil. Ibu pun membereskan ruang tamu tersebut dengan suasana ceria.
LAMPU TERANG DI SEBELAH KANAN PANGGUNG. ADA IBU YANG SEDANG BERAKTIVITAS.
(satu menit kemudian terdengar suara Budi yang tiba-tiba membelah keramaian.)
Budi:
Assalamualaikum! Ibu! Budi Pulang!
Ibu:
(sambil tersenyum) Waalaikumsalam. Eh, anak ibu yang ganteng sudah pulang sekolah.
Budi:
Iya dong, Bu. Budi kan kangen sama Ibu. Apalagi kalau Ibu lagi masak. Masakannya bikin laper saja, jadi pengen cepet-cepet pulang.
Ibu:
Ah, kamu bisa saja, Bud. Tuh, ibu sudah masakin sayur lodeh ama ikan asin kesukaan kamu (membelakangi Budi sambil sibuk bersih-bersih).
Budi:
Iya, Bu. Ibu, Budi mau tanya, boleh ga?
Ibu:
(tidak menoleh) Boleh tapi nanti aja ya, Bud. Ibu lagi sibuk nih.
Budi:
(agak kecewa) Ya sudah, ga apa-apa, Bu. Kalau Begitu, Budi mau mandi dulu abis itu baru makan, Bu.
Ibu:
(tidak menoleh) Cepat sana mandi, nanti makan bareng Ibu.
(Budi pun perlahan-lahan lenyap menuju ke kamarnya. Ibu masih sibuk membersihkan ruang tamunya. Tak lama berselang, muncullah Ayah yang baru pulang dari kerjanya.)
Ayah:
Assalamualaikum
Ibu:
Waalaikumsalam
Ayah:
(sambil tersenyum) Aduh, istriku tercinta rajin betul.
Ibu:
Ah, Ayah Gombal.
(Keduanya tertawa bersama. Lalu, Ayah duduk sambil memeriksa tas yang dibawanya.)
Ayah:
Ngomong-ngomong, Budi sudah pulang belum?
Ibu:
Sudah. Itu lagi mandi. Ayah, cepat mandi sana, nanti kita makan sama-sama dengan Budi.
Ayah:
Baiklah kalau begitu.
(Ayah pun lenyap perlahan-lahan. Ibu tetap masih sibuk membersihkan ruang tamunya.)
LAMPU PADAM
Sebuah ruangan. Berisi sebuah meja besar dan dikelilingi dengan enam buah kursi. Ibu dan Budi duduk bersebelahan sedangkan Ayah duduk dimuka depan meja. Beraneka makanan tersedia atas meja. Mereka bertiga berdoa sebelum memulai menyantap makanan. Setelah selesai berdoa, mereka mulai mengambil makanan.
LAMPU TERANG HANYA DI TENGAH PANGGUNG.
Ayah:
Bud, makan yang banyak. Biar cepat besar.
Budi:
(agak takut untuk bertanya) Ayah, Budi mau tanya. Boleh ga, Yah?
Ayah:
Nanti saja ya, Bud. Tidak sopan kalau makan sambil ngobrol (agak lelah dan mencoba mengalihkan pembicaraan).
Budi:
(agak kecewa) Ya sudah, ga apa-apa kok, Yah. Lain waktu saja Budi menanyakannya.
Ayah:
Baiklah.
Ibu:
(agak menekan pembicaraan) Iya, Bud. Ngertiin kondisi ayahmu dong. Ayahmu masih lelah sepulang bekerja. Ayahmu butuh istirahat yang cukup. Jadi, nanya lain kali waktu saja kalau ayahmu sedang santai.
Budi:
(kecewa) Iya, Bu. Budi ngerti kok.
LAMPU PADAM

Adegan IV
Papan tulis besar berisi tulisan tentang pelajaran bahasa Indonesia. Semua tempat duduk kosong, kecuali milik Bu Guru. Dia masih sibuk dengan berbagai buku-bukunya yang berserakan, entah dibaca atau dirapikan. Tak lama kemudian, muncul si Budi dengan wajah penuh penasaran dan raut muka bimbang. Berjalan menuju meja di mana Bu Guru berada.
LAMPU TERANG DI TENGAH PANGGUNG.
Budi:
Permisi, Bu.
Bu Guru:
(agak penasaran) Budi? Ada apa kemari?
Budi:
(mencoba menegaskan) Tentang yang kemarin itu, Bu.
Bu Guru:
Yang mana ya? Ibu lupa tuh
Budi:
Itu bu, tentang sebuah kata baru, yang kemarin diucapkan oleh salah seorang teman dikelas, ketika pelajaran IPA. Ingatkan, Bu?
Bu Guru:
Oh iya, Ibu baru ingat.
Budi:
Akhirnya, Ibu ingat juga. Jelaskan kepada saya dong, Bu. Sebenarnya, liang itu apa sih, Bu?
Bu  Guru:
Memangnya kamu belum menanyakan hal ini kepada kedua orangtuamu?
Budi:
Sudah saya tanyakan, Bu. Tetapi kedua orangtua saya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sehingga saya selalu diacuhkan.
Bu Guru:
Ya sudah, kalau begitu akan Ibu jelaskan secara singkat. Liang itu adalah organ reproduksi yang dimiliki oleh manusia dan hanya terdapat pada jenis kelamin wanita saja. Selain itu, liang atau yang lebih dikenal dengan vagina merupakan saluran yang berhubungan dengan rahim yang berfungsi sebagai lubang keluar untuk bayi yang baru lahir. Nah, udah jelas belum sekarang?
Budi:
Sudah, Bu. Sekarang Budi sudah paham dengan penjelasan Ibu. Terimakasih ya, Bu (sambil tersenyum).
Bu Guru:
Iya, sama-sama.
Budi:
Ibu, Budi pamit pulang dulu ya.
Bu Guru:
Iya, hati-hati di jalan ya.
LAMPU PADAM

Adean V
(Seorang wanita menyapu halaman rumah, wanita itu adalah ibunya Budi.)
LAMPU TERANG DI TENGAH PANGGUNG.
Ibu:
Duh, matahari sudah terik sekali tapi kenapa si Budi belum pulang juga? Ke mana lagi itu anak?
(Tak lama berselang, muncullah Budi  dengan wajah yang gembira dan penuh kepuasan. Lalu, menatap Ibunya dengan senyuman dan cengar-cengir.)
Budi:
(begitu semangat) Assalamualaikum!
Ibu:
Waalaikumsalam. Budi, kok baru pulang? Maen ke mana dulu, Nak?
Budi:
Tadi ada urusan dengan Bu Guru dulu di sekolah, Bu. Ada hal yang ingin Budi tanyakan.
Ibu:
(agak sombong) Kamu kayak orang penting saja, pake ada urusan segala. Memangnya kamu nanyain apa sih ke Bu Guru?
Budi:
Nanyain pertanyaan tentang yang ingin Budi tanyakan ke Ibu kemarin.
Ibu:
(agak penasaran) O..Ceritain dong ke Ibu, biar Ibu tahu juga.
Budi:
Okelah kalau begitu. Budi nanya tentang sebuah kata baru, kata yang baru Budi dengar. Kata itu adalah liang, Bu. Bu guru menjelaskan bahwa liang adalah organ reproduksi yang dimiliki oleh manusia dan hanya terdapat pada jenis kelamin wanita saja. Selain itu, liang atau yang lebih dikenal dengan vagina merupakan saluran yang berhubungan dengan rahim yang berfungsi sebagai lubang keluar untuk bayi yang baru lahir. Nah, begitu, Bu.
Ibu:
Bu Guru mengajarkan seperti itu? Bu Guru macam apa itu? Hal ini ga boleh dibiarin. Bisa merusak sistem yang sudah ada. Anak sekecil ini sudah dijejali dengan hal-hal yang tidak benar. Bu Guru harus diadili dengan kelakuannya yang salah ini.
Budi:
Bu Guru tidak seperti yang Ibu pikirkan. Bu Guru sudah mengatakan hal yang memang sesuai dengan nilai kebenaran dan kejujuran. Keadilan baru dapat ditegakkan jika ada orang yang mau mengungkapkannya dengan jujur dan benar.
Ibu:
Tetap saja Bu Guru mengatakan hal yang salah. Dia harus diadili (sambil menunjukkan jari tengahnya ke arah Budi).
Semua diam, tak ada yang bergerak.
LAMPU PADAM
LAMPU TERANG MENYOROT AYAH DARI SEBELAH KIRI PANGGUNG
(Ayah berjalan dari kiri ke kanan lalu kembali ke kiri lagi dan berjalan mendekati Ibu dan Budi.)
LAMPU SOROT KE AYAH PADAM
LAMPU TERANG DI SEBELAH KIRI DAN TENGAH PANGGUNG
(Semua kembali seperti keadaan semula. Ayah datang. Wajah Ayah kelihatan sangat lelah karena baru pulang sehabis bekerja. Ayah merasa bingung melihat hal yang terjadi.)
LAMPU HANYA TERANG DI TENGAH PANGGUNG.
Ayah:
(dengan rasa penasaran) Hayo, ada apa ngumpul-ngumpul begini? Ada yang dapat hadiah ya?
Ibu:
Ayah. Ini serius. Anak ini telah menanyakan hal yang salah kepada orang yang tidak benar.
Ayah:
Maksud Ibu apa? Ayo, kita bicarakan di dalam saja. Malu dilihat orang dari jalanan.
LAMPU TERANG DI SEBELAH KANAN PANGGUNG.
(Mereka bertiga masuk ke dalam rumah dan meneruskan pembicaraan yang alot ini di ruang tamu. Mereka duduk di masing-masing kursi dan suasana tampak kisruh.)
LAMPU TERANG HANYA DI SEBELAH KANAN PANGGUNG.
Ayah:
Baiklah, kita mulai pembicaraan ini. Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Bu?
Ibu:
Ini si Budi, menemukan sebuah kata baru yang tak pantas diucapkan.
Ayah:
Kata baru? Kata seperti apa itu, Bu?
Ibu:
Itu, Yah. Alat kelamin wanita.
Ayah:
Maksud Ibu, liang?
Ibu:
Iya, Yah.
Ayah:
Siapa yang mengajarkannya, Bu?
Ibu:
Ini gara-gara Bu Guru di sekolah yang mengajarkannya, Yah. Kita harus mengadilinya.
Ayah:
Benar. Kita harus mengadilinya. Dia telah mengatakan sesuatu yang salah kepada anak kita. Dia pantas dihukum.
Budi:
Bu Guru itu tidak sama seperti yang Ayah dan Ibu ucapkan. Beliau begitu mulia. Beliau telah jujur mengatakan kebenaran dan beliau tidak takut mengatakan hal itu.
Ibu:
(marah) Diam! Kau masih kecil dan tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan ini.
Budi:
Walaupun aku masih kecil tapi mengatakan kebenaran adalah kewajiban bagi setiap manusia. Jika kebohongan terus yang selalu diumbar-umbar demi kebaikan kelompok saja, bagaimana masa depan bangsa ini mau maju.
Ayah:
(Menampar) Diam! Beraninya kau melawan orang yang telah merawat dan membesarkanmu.
Budi:
Aku hanya menegakkan kebenaran demi terciptanya keadilan. Dan aku akan tetap membela Bu Guru walaupun nyawaku sebagai taruhannya, Ayah.
Ibu:
(Pergi mengambil tali)
Ayah:
Kini kau sudah berani membangkang, semakin tinggi pendidikan yang kau terima, malah semakin berani kau menantang aturan yang telah ada.
Ibu:
Ini, Yah. Kita ikat saja si anak durhaka ini.
Ayah:
Baiklah. Jika memang inilah cara yang terbaik, apa boleh buat. Ayo kita ikat dia, Bu.
(Ayah dan Ibu mulai menjerat Budi erat-erat dengan tali kekang yang mereka punya. Budi pun memberontak dengan hebat tapi tetap saja lemah dengan keadaan yang ada. Budi merasa tersiksa karena tak dapat berbuat apa-apa untuk  membantu Bu Guru. Ayah dan Ibu tertawa dengan kencangnya karena keberhasilannya mengikat Budi.)
Ibu:
Rasakan kamu. Inilah ganjaran bagi anak yang tidak menaati peraturan yang telah ada dan memberontak kekuasaan. Penyiksaan yang pedih. Ayah, mari kita habisi si Bu Guru yang telah merusak semua ini.
Ayah:
Enaknya si Bu Guru itu diadili dengan cara apa ya, Bu?
Ibu:
Bagaimana kalau kita telanjangi dan diarak-arak keliling kampung. Itu kan sesuai dengan apa yang ia ajarkan.
Budi:
(berteriak) Jangan! Kejam sekali kalian.
Ayah:
Berisik sekali. Diam! Tutup mulutnya yang berbisa itu, Bu. Jangan sampai ada orang yang mendengar. Bisa kacau semua aturan yang telah ada ini. Ini, Bu (sambil mengeluarkan saputangan dari kantung celananya)
Ibu:
Baiklah (mengambil saputangan tersebut dan menutup mulutnya Budi dengan erat-erat).
(Terdengar suara rongrongan yang tidak jelas dari mulutnya Budi dan disertai dengan gerakan Budi yang mencoba melepaskan kekangan tali yang melingkari tubuhnya.)
Ayah:
Nah, ayah sudah tahu hukuman apa yang pantas untuk Bu Guru tersebut.
Ibu:
(terkejut dan penasaran) Hah? Apa, Yah, hukuman yang pantas untuk Bu Guru tersebut?
Ayah:
(tertawa) Haha...lihat saja nanti, Bu. Ini adalah hukuman yang paling pantas untuk orang-orang yang berani melakukan sesuatu semacam ini.
Ibu:
Ya sudah kalau begitu.
Ayah:
Ayo, Bu. Segera ajak penduduk di lingkungan kita untuk mengadili Bu Guru tersebut.
Ibu:
Baik, Yah.
LAMPU PADAM

Adegan VI
PANGGUNG GELAP. MUNCUL ORANG-ORANG BERPAKAIAN HITAM SAMBIL MEMBAWA KAIN PUTIH MEMBENTANG PANJANG. KEMUDIAN MEREKA BERLARI. BERTERIAK-TERIAK “HUKUM, HUKUM”. KEMUDIAN HILANG SECARA PERLAHAN. SEPI SEJENAK.
LAMPU SOROT TERANG DARI SEBELAH KIRI PANGGUNG.
(Bu Guru berjalan dari kiri panggung dan diikuti oleh sorot lampu. Kemudian lenyap di sebelah kanan panggung.)
LAMPU SOROT PADAM. PANGGUNG GELAP DAN MUNCUL SUARA BURUNG HANTU. PANGGUNG SEPERTI MENCEKAM DAN DISERTAI SUARA-SUARA HANTU.
LAMPU SOROT TERANG DARI SEBELAH KIRI PANGGUNG.  LAMPU MENYOROT BU GURU.
(Bu Guru berjalan sendirian dengan tergesa-gesa. Namun, terjatuh saat sampai di sisi kanan panggung. Bu Guru merasa kesakitan dan merasa ada yang terluka. Kemudian, Bu Guru bangkit dan berbalik ke sisi kiri panggung.)
LAMPU TERANG MENERANGI SEMUA AREA PANGGUNG. LAMPU SOROT PADAM.
(Bu Guru terkejut karena melihat di depan matanya ada Ayah dan Ibunya Budi. Bu Guru bertambah kaget lagi ketika dari arah belakangnya atau sisi kanan panggung , berlarian orang-orang yang berpakaian hitam-hitam dan membawa palu hitam. Orang-orang itu berkerumun di belakang Ayah dan Ibu.)
Ayah:
Bu Guru, semoga masih ada orang yang mau menghormati Anda. Bu Guru telah salah, salah besar.
Ibu:
Bu Guru tidak menjunjung tinggi nilai moral. Bu Guru seperti binatang yang mengajarkan keliaran pada anak-anaknya.
Bu Guru:
Apa maksud kalian?
Ayah:
Bu Guru telah memberikan sebuah kata yang tak pantas diketahui oleh anak kecil seperti Budi.
Ibu Guru:
Kata? Kata apa yang salah yang sudah saya ucapkan kepada Budi?
Ibu:
Jangan menjadi orang yang munafik, Bu Guru.
Bu Guru:
Entahlah itu. Mungkin saya lupa. Manusia kan tak pernah luput dari lupa.
Ayah:
Liang. Sudah ingatkah sekarang?
Bu Guru:
Liang? Oh kata liang itu. Saya rasa itu hal yang wajar. Budi bukan lagi anak kecil tetapi remaja. Remaja yang penuh dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Lagi  pula dia mengetahui kata itu dari temannya, bukan dari saya. Itulah kecerdasannya. Dia pintar dan dia bukanlah kerbau yang dicucuk hidungnya yang hanya akan ikut pada peraturan yang ada dan tak mengerti mau diapakan nantinya dengan aturan itu.
Ibu:
Ibu memang pantas dihukum karena mengatakan kebohongan yang telah merusak mental anak kecil seperti Budi.
Bu Guru:
Merusak mental? Penjelasan saya itu bukanlah merusak mental tetapi menambah wawasan baru baginya. Sebuah kebenaran yang selalu ditutup-tutupi karena takut merusak kepentingan golongan kalian. Kalian takut untuk mengungkap kebenaran itu dan hanya menutupinya dengan beribu alasan kalian. Mau jadi apa dia di masa depan jika kebohongan selalu di kedepankan.
(Kerumunan itu lalu berlari mengelilingi Bu Guru dan berteriak-teriak. Namun, Bu Guru tak gentar. Dia tetap berdiri tegak. Kerumunan lalu kembali ke belakang Ayah dan Ibu Budi.)
Ayah:
Itukah penjelasanmu? Apakah kau tak memikirkan dampak buruk bagi anak itu? Bagaimana kalau nantinya Budi menjadi Gigolo? Pernahkah kau memikirkan itu?
Bu Guru:
Tak ada kebenaran yang menyesatkan. Kebenaran akan membuat sebuah kejujuran dan memusnahkan kebohongan. Masa depan Budi adalah urusan dia tetapi jika dia selalu diajarkan kebenaran, niscaya jalan yang ia tempuh akan tetap lurus pada kodratnya.
Ibu:
Jangan munafik Bu Guru. Jasamu memang mulia, tetapi sikapmu membuat martabatmu sirna.
Bu Guru:
Kebenaran harus ditegakkan karena ia tak dapat tegak dengan sendirinya. Saya tidak pernah merasa salah terhadap yang saya ucapkan karena ucapan yang keluar dari mulut saya adalah kebenaran, walaupun nyawaku sebagai taruhannya.
Ayah:
(tertawa sekencang-kencangnya)
Ibu:
Ayah kenapa?
Ayah:
Memang. Memang hanya itulah hukuman yang pantas untukmu, Bu Guru.
Ibu:
Hukumannya apa, Yah?
Ayah:
Kematian.
Ibu:
(tertawa sekencang-kencangnya)
Ayah:
(tertawa sekencang-kencangnya)
Bu Guru:
Kalian bukanlah Tuhan yang mampu menentukan mati hidupnya seseorang. Kalian ini adalah iblis.
Ayah:
Kalau begitu, aku yang akan menjemput nyawamu saat ini. Serang dia!
(Kerumunan itu berlari mengelilingi Bu Guru hingga yang terlihat hanyalah hitam. Kerumunan itu berteriak-teriak dengan keras dan mulai memukul-mukulkan palu hitamnya ke arah Bu Guru. Tak lama kemudian, keluar suara jeritan Bu Guru dengan begitu kencang. Lalu, perlahan-lahan menghilang dan kini Bu Guru tergeletak lemah tak berdaya menjemput ajal.)
Ayah:
Itulah yang pantas kau dapatkan sesuai dengan apa yang kau lakukan.
Ibu:
Tidurlah selamanya dengan tenang dan sesalilah semua perbuatan yang telah kau lakukan kepada kami.
LAMPU PADAM.
LAMPU SOROT TERANG DAN MENYOROTI BU GURU.
Bu Guru:
Apakah ini sebuah keadilan? Semuanya samar, benar itu salah dan salah itu benar. Keadilan membutuhkan kejujuran. Kejujuran membutuhkan kebenaran. Tapi kebenaran apakah membutuhkan kematian? Tidak apalah aku mati demi menegakkan kebenaran. Semoga bunga kebenaran akan bermekaran di tanah air Indonesia ini. Aku menyusulmu, Bapak, Ibu. Tunggu aku di surgamu, Ya Rabbi. Asyhadualla illa ha illauloh, Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah.
LAMPU REDUP

Adegan VII
LAMPU SOROT TERANG DAN MENYOROTI SEORANG WANITA DI SISI KIRI PANGGUNG YANG BERPAKAIAN SERBA PUTIH.
(Seorang wanita keluar dari sisi kiri panggung dengan rasa bingung dan heran. Wanita ini adalah Bu Guru. Setelah mengitari seluruh area panggung, wanita ini berhenti diam di tengah panggung dan menghadap ke sisi kiri panggung.)
LAMPU TERANG MENERANGI SEMUA AREA PANGGUNG.
(Wanita ini berbalik badan dan meneteskan air mata bahagia. Di depan matanya, ia melihat kedua orangtuanya hidup kembali. Lalu, wanita itu berlari dan memeluk kedua orangtuanya itu.)
IMPROVISASI
                                               
Oleh: Dwi Febri Setiawan

1 komentar:

  1. Best Casinos near Bellagio, CA
    Looking for the closest 부산광역 출장안마 casino to Bellagio? Find it here. Bellagio Casino 아산 출장안마 Resort is 영주 출장샵 a beautiful city full 제주도 출장샵 of amazing 경상남도 출장마사지 sights and sounds, perfect

    BalasHapus