Juara Ke-2 Lomba Penulisan Naskah Lakon, PEKSIMIDA 2010, DKI Jakarta
Juara Harapan Ke-2 Lomba Penulisan Naskah Lakon, PEKSIMINAS 2010, Tanjung Pura, Kalimantan
OPERA
KELAMIN
Babak
I
Adegan
I
PANGGUNG GELAP. MUNCUL
ORANG-ORANG BERPAKAIAN HITAM SAMBIL MEMBAWA KAIN PUTIH MEMBENTANG PANJANG.
KEMUDIAN MEREKA BERLARI. BERTERIAK-TERIAK KATA BENAR DAN SALAH. KEMUDIAN HILANG
SECARA PERLAHAN. SEPI SEJENAK. LAMPU TERANG DI SEBELAH KANAN. MUNCUL WANITA DENGAN
PAKAIAN PUTIH.
Wanita:
(berjalan perlahan-lahan
menuju ke sebelah kiri) Kenapa begini? Semua gelap. Dimana aku berada? Begitu
gelap sekali di sini. Hai, apa ada yang dengar suaraku? Hai, kebenaran.
Dimanakah kamu? (hilang di sebelah kiri)
LAMPU PADAM
Sebuah meja kayu yang di kelilingi
oleh tiga buah kursi. Terdapat Ayah yang sedang duduk sambil membaca koran
dengan serius. Si Budi sibuk memakai sepatu sendiri dan kelihatan agak bengong.
LAMPU TERANG HANYA TERANG DI
SEBELAH KANAN PANGGUNG.
Ayah
:
Budi?
Budi:
Hmm..
Ayah:
(agak kesal) Budi, kalau
dipanggil Ayah, jangan menyahut seperti itu.
Kurang sopan, Nak.
Budi:
Iya, Ayah. Ada apa, Yah?
Ayah:
Semalam kamu sudah
mengerjakan PR bahasa Indonesia belum?
Budi:
Sudah mengerjakan tapi baru
setengahnya, Yah.
Ayah:
(bingung) Lah, kok begitu? Padahalkan
hanya sebuah PR bahasa Indonesia saja?
Budi
:
Bingung, Yah. Begitu rumit
dengan banyaknya istilah-istilah yang tidak Budi ketahui.
Ayah:
Maksudnya apa?
Budi:
Pelajaran bahasa Indonesia memang
pelajaran yang terlihat mudah, Yah. Tapi jika sudah disuruh mengerjakan
soal-soalnya, MasyaAllah, susahnya
minta ampun dan membingungkan banget.
Ayah:
Nah, maka dari itu, Bud.
Kamu kan sudah kelas enam SD, Rajin-rajinlah belajar dan jangan main-main melulu. Ingatlah, pendidikan itu adalah
hak bagi seluruh warga Indonesia. Maka dari itu, tuntutlah ilmu sampai akhir
hayatmu.
Budi:
Iya, Ayah.
(Ibu masuk sambil membawa
tas kerja dan bekal untuk Budi.)
Ibu:
Ayah, ini tasnya.
Ayah:
(sambil
tersenyum) Terimakasih, Bu. Ngomong-ngomong, Ibu mau nitip apa kalau Ayah
pulang nanti?
Ibu:
Ibu titip Ayah saja
(tersenyum). Semoga selamat dalam perjalanan ya, Yah. Amin.
Ayah:
Amin.
Budi:
(agak sinis) Ibu, mana
bekalnya, Budi?
Ibu:
Oh iya, Ibu sampai lupa.
Gara-gara Ayah nih.
Ayah:
Lah, kok jadi Ayah yang kena
sasarannya.
Budi:
(agak kesal) Ya ampun, Ibu
dan Ayah kok malah bertengkar sih. Budi udah telat nih. Mana bekalnya Budi, Bu?
Ibu:
Iya, ini Ibu lagi masukin ke
dalam tas kamu.
Ayah:
Ayo, Bud. Ayah antar kamu ke sekolah.
Budi:
Ayo, Yah. Bu, Budi berangkat
ke sekolah dulu yah. Assalamualaikum (sambil mencium tangan).
Ibu:
Waalaikumsalam, belajar yang
tekun, Nak.
Ayah:
Bu, Ayah berangkat dulu yah.
Ibu:
Hati-hati ya, Ayah.
LAMPU PADAM.
Adegan
II
Sebuah papan tulis berwarna
putih dengan dua penghapus. Ada seorang guru perempuan sedang mengajar dua
puluh anak muridnya. Suasana menjadi gaduh karena ada murid yang sedang
membicarakan sesuatu hal di tempat duduk paling belakang, bersebelahan dengan
Budi.
LAMPU TERANG HANYA DI TENGAH
PANGGUNG.
Bu
Guru:
Iya anak-anak. Sekarang kita
belajar pelajaran IPA. Kita akan belajar mengenai sistem perkembangbiakan pada
tanaman. Ada yang tahu, apa saja sistem perkembangbiakan tersebut?
Murid
1:
Putik, Bu.
Bu
Guru:
Bagus jawabannya. Ada lagi
yang lainnya?
Murid
2:
Benang sari, Bu.
Bu
Guru:
Benar sekali jawabannya.
Wah, ternyata murid-murid Ibu pintar semuanya.
Murid
3:
Bu!
Bu
Guru:
Iya, ada pertanyaan?
Murid
3:
Bu, kalau liang termasuk ga?
Bu
Guru:
(diam sejenak sambil
berpikir) Wah, kalau itu tidak termasuk, muridku sayang. Baiklah, sekarang PR
untuk pelajaran IPA hari ini adalah menggambar bunga dan jangan lupa diberi
keterangan pada setiap bagian-bagiannya yah. Maaf sebelumnya kalau ibu
terburu-buru karena hari ini ibu ada acara dari dinas.
Budi:
Bersiap! Memberi salam!
Serempak:
Assalamualaikum Warrohmatullohi
Wabarokatuh.
Bu
Guru:
Langsung pulang ke rumah ya,
anak-anak! Jangan main dulu.
LAMPU TERANG DI TEMPAT BU
GURU SAJA.
Murid-murid telah keluar
semua, hanya ada Bu Guru yang sedang merapikan semua buku-buku yang barusan
dipakai mengajar. Tak lama berselang, Budi masuk dengan wajah takut dan
penasaran. Budi berjalan menuju Bu Guru dengan ragu-ragu.
LAMPU
TERANG DI TEMPAT BU GURU DAN BUDI.
Bu
Guru:
Eh, Budi. Ada perlu dengan
Ibu, Bud?
Budi:
(agak gagap) Hmm...Budi
ingin bertanya sesuatu sama ibu tapi Budi takut kalau nantinya Ibu malah jadi
marah.
Bu
Guru:
Sudah, bilang saja. Ibu ga akan marah kok (meyakinkan sambil
menatap Budi).
Budi:
Begini, Bu. Tadi ketika
pelajaran IPA, Budi mendengar sebuah kata baru. Kata itu adalah liang, Bu. Nah,
yang mau Budi tanyain, liang itu sejenis apa yah, Bu?
Bu
Guru:
(hanya tersenyum)
Budi:
Mengapa Ibu malah tersenyum?
Bu
Guru:
(tersenyum sambil mengeluskan
tangan kanan ke rambut Budi) Kamu cerdas yah. Rasa ingin tahu kamu akan hal-hal
yang baru sangat tinggi sekali. Namun, Ibu hanya bisa menyarankan begini,
cobalah kamu tanyakan ini kepada kedua orangtua kamu. Mereka pasti bisa
menjawabnya dengan bijak.
Budi:
Baiklah, Bu. Nanti akan saya
tanyakan pada orangtua saya di rumah.
Bu
Guru:
Nah, kalau begitu kamu
segera pulang yah. Hati-hati di jalan.
Budi:
Permisi, Bu.
LAMPU REDUP
Adegan
III
Di ruang tamu, terdapat meja
dengan taplak berwarna hijau dan di kelilingi oleh tiga buah kursi. Ibu budi
sedang membereskan ruang tamu tersebut. Terdengar nyanyian riang dari radio
mungil. Ibu pun membereskan ruang tamu tersebut dengan suasana ceria.
LAMPU TERANG DI SEBELAH KANAN
PANGGUNG. ADA IBU YANG SEDANG BERAKTIVITAS.
(satu menit kemudian
terdengar suara Budi yang tiba-tiba membelah keramaian.)
Budi:
Assalamualaikum! Ibu! Budi
Pulang!
Ibu:
(sambil tersenyum) Waalaikumsalam.
Eh, anak ibu yang ganteng sudah pulang sekolah.
Budi:
Iya dong, Bu. Budi kan kangen sama Ibu. Apalagi kalau Ibu lagi masak.
Masakannya bikin laper saja, jadi pengen cepet-cepet pulang.
Ibu:
Ah, kamu bisa saja, Bud.
Tuh, ibu sudah masakin sayur lodeh ama ikan
asin kesukaan kamu (membelakangi Budi sambil sibuk bersih-bersih).
Budi:
Iya, Bu. Ibu, Budi mau
tanya, boleh ga?
Ibu:
(tidak menoleh) Boleh tapi
nanti aja ya, Bud. Ibu lagi sibuk nih.
Budi:
(agak kecewa) Ya sudah, ga apa-apa, Bu. Kalau Begitu, Budi mau
mandi dulu abis itu baru makan, Bu.
Ibu:
(tidak menoleh) Cepat sana
mandi, nanti makan bareng Ibu.
(Budi pun perlahan-lahan
lenyap menuju ke kamarnya. Ibu masih sibuk membersihkan ruang tamunya. Tak lama
berselang, muncullah Ayah yang baru pulang dari kerjanya.)
Ayah:
Assalamualaikum
Ibu:
Waalaikumsalam
Ayah:
(sambil tersenyum) Aduh,
istriku tercinta rajin betul.
Ibu:
Ah, Ayah Gombal.
(Keduanya tertawa bersama.
Lalu, Ayah duduk sambil memeriksa tas yang dibawanya.)
Ayah:
Ngomong-ngomong, Budi sudah
pulang belum?
Ibu:
Sudah. Itu lagi mandi. Ayah,
cepat mandi sana, nanti kita makan sama-sama dengan Budi.
Ayah:
Baiklah kalau begitu.
(Ayah pun lenyap
perlahan-lahan. Ibu tetap masih sibuk membersihkan ruang tamunya.)
LAMPU PADAM
Sebuah ruangan. Berisi
sebuah meja besar dan dikelilingi dengan enam buah kursi. Ibu dan Budi duduk
bersebelahan sedangkan Ayah duduk dimuka depan meja. Beraneka makanan tersedia
atas meja. Mereka bertiga berdoa sebelum memulai menyantap makanan. Setelah
selesai berdoa, mereka mulai mengambil makanan.
LAMPU TERANG HANYA DI TENGAH
PANGGUNG.
Ayah:
Bud, makan yang banyak. Biar
cepat besar.
Budi:
(agak takut untuk bertanya) Ayah,
Budi mau tanya. Boleh ga, Yah?
Ayah:
Nanti saja ya, Bud. Tidak
sopan kalau makan sambil ngobrol
(agak lelah dan mencoba mengalihkan pembicaraan).
Budi:
(agak kecewa) Ya sudah, ga apa-apa kok, Yah. Lain waktu saja
Budi menanyakannya.
Ayah:
Baiklah.
Ibu:
(agak menekan pembicaraan) Iya,
Bud. Ngertiin kondisi ayahmu dong. Ayahmu masih lelah sepulang
bekerja. Ayahmu butuh istirahat yang cukup. Jadi, nanya lain kali waktu saja
kalau ayahmu sedang santai.
Budi:
(kecewa) Iya, Bu. Budi
ngerti kok.
LAMPU PADAM
Adegan
IV
Papan tulis besar berisi
tulisan tentang pelajaran bahasa Indonesia. Semua tempat duduk kosong, kecuali
milik Bu Guru. Dia masih sibuk dengan berbagai buku-bukunya yang berserakan,
entah dibaca atau dirapikan. Tak lama kemudian, muncul si Budi dengan wajah
penuh penasaran dan raut muka bimbang. Berjalan menuju meja di mana Bu Guru
berada.
LAMPU TERANG DI TENGAH
PANGGUNG.
Budi:
Permisi, Bu.
Bu
Guru:
(agak penasaran) Budi? Ada
apa kemari?
Budi:
(mencoba menegaskan) Tentang
yang kemarin itu, Bu.
Bu
Guru:
Yang mana ya? Ibu lupa tuh
Budi:
Itu bu, tentang sebuah kata
baru, yang kemarin diucapkan oleh salah seorang teman dikelas, ketika pelajaran
IPA. Ingatkan, Bu?
Bu
Guru:
Oh iya, Ibu baru ingat.
Budi:
Akhirnya, Ibu ingat juga.
Jelaskan kepada saya dong, Bu.
Sebenarnya, liang itu apa sih, Bu?
Bu Guru:
Memangnya kamu belum
menanyakan hal ini kepada kedua orangtuamu?
Budi:
Sudah saya tanyakan, Bu.
Tetapi kedua orangtua saya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sehingga saya
selalu diacuhkan.
Bu
Guru:
Ya sudah, kalau begitu akan
Ibu jelaskan secara singkat. Liang itu adalah organ reproduksi yang dimiliki
oleh manusia dan hanya terdapat pada jenis kelamin wanita saja. Selain itu, liang
atau yang lebih dikenal dengan vagina merupakan saluran yang berhubungan dengan
rahim yang berfungsi sebagai lubang keluar untuk bayi yang baru lahir. Nah,
udah jelas belum sekarang?
Budi:
Sudah, Bu. Sekarang Budi
sudah paham dengan penjelasan Ibu. Terimakasih ya, Bu (sambil tersenyum).
Bu
Guru:
Iya, sama-sama.
Budi:
Ibu, Budi pamit pulang dulu
ya.
Bu
Guru:
Iya, hati-hati di jalan ya.
LAMPU PADAM
Adean
V
(Seorang wanita menyapu
halaman rumah, wanita itu adalah ibunya Budi.)
LAMPU TERANG DI TENGAH
PANGGUNG.
Ibu:
Duh, matahari sudah terik
sekali tapi kenapa si Budi belum pulang juga? Ke mana lagi itu anak?
(Tak lama berselang,
muncullah Budi dengan wajah yang gembira
dan penuh kepuasan. Lalu, menatap Ibunya dengan senyuman dan cengar-cengir.)
Budi:
(begitu semangat) Assalamualaikum!
Ibu:
Waalaikumsalam. Budi, kok
baru pulang? Maen ke mana dulu, Nak?
Budi:
Tadi ada urusan dengan Bu
Guru dulu di sekolah, Bu. Ada hal yang ingin Budi tanyakan.
Ibu:
(agak sombong) Kamu kayak
orang penting saja, pake ada urusan
segala. Memangnya kamu nanyain apa sih ke Bu Guru?
Budi:
Nanyain pertanyaan tentang
yang ingin Budi tanyakan ke Ibu kemarin.
Ibu:
(agak penasaran) O..Ceritain
dong ke Ibu, biar Ibu tahu juga.
Budi:
Okelah
kalau begitu. Budi nanya tentang sebuah kata baru, kata yang baru Budi dengar.
Kata itu adalah liang, Bu. Bu guru menjelaskan bahwa liang adalah organ
reproduksi yang dimiliki oleh manusia dan hanya terdapat pada jenis kelamin
wanita saja. Selain itu, liang atau yang lebih dikenal dengan vagina merupakan
saluran yang berhubungan dengan rahim yang berfungsi sebagai lubang keluar
untuk bayi yang baru lahir. Nah, begitu, Bu.
Ibu:
Bu Guru mengajarkan seperti
itu? Bu Guru macam apa itu? Hal ini ga boleh
dibiarin. Bisa merusak sistem yang sudah ada. Anak sekecil ini sudah dijejali
dengan hal-hal yang tidak benar. Bu Guru harus diadili dengan kelakuannya yang
salah ini.
Budi:
Bu Guru tidak seperti yang
Ibu pikirkan. Bu Guru sudah mengatakan hal yang memang sesuai dengan nilai
kebenaran dan kejujuran. Keadilan baru dapat ditegakkan jika ada orang yang mau
mengungkapkannya dengan jujur dan benar.
Ibu:
Tetap saja Bu Guru
mengatakan hal yang salah. Dia harus diadili (sambil menunjukkan jari tengahnya
ke arah Budi).
Semua diam, tak ada yang
bergerak.
LAMPU PADAM
LAMPU TERANG MENYOROT AYAH
DARI SEBELAH KIRI PANGGUNG
(Ayah berjalan dari kiri ke
kanan lalu kembali ke kiri lagi dan berjalan mendekati Ibu dan Budi.)
LAMPU SOROT KE AYAH PADAM
LAMPU TERANG DI SEBELAH KIRI
DAN TENGAH PANGGUNG
(Semua kembali seperti
keadaan semula. Ayah datang. Wajah Ayah kelihatan sangat lelah karena baru
pulang sehabis bekerja. Ayah merasa bingung melihat hal yang terjadi.)
LAMPU HANYA TERANG DI TENGAH
PANGGUNG.
Ayah:
(dengan rasa penasaran) Hayo,
ada apa ngumpul-ngumpul begini? Ada yang dapat hadiah ya?
Ibu:
Ayah. Ini serius. Anak ini
telah menanyakan hal yang salah kepada orang yang tidak benar.
Ayah:
Maksud Ibu apa? Ayo, kita
bicarakan di dalam saja. Malu dilihat orang dari jalanan.
LAMPU TERANG DI SEBELAH
KANAN PANGGUNG.
(Mereka bertiga masuk ke
dalam rumah dan meneruskan pembicaraan yang alot ini di ruang tamu. Mereka
duduk di masing-masing kursi dan suasana tampak kisruh.)
LAMPU TERANG HANYA DI
SEBELAH KANAN PANGGUNG.
Ayah:
Baiklah, kita mulai
pembicaraan ini. Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Bu?
Ibu:
Ini si Budi, menemukan
sebuah kata baru yang tak pantas diucapkan.
Ayah:
Kata baru? Kata seperti apa
itu, Bu?
Ibu:
Itu, Yah. Alat kelamin
wanita.
Ayah:
Maksud Ibu, liang?
Ibu:
Iya, Yah.
Ayah:
Siapa yang mengajarkannya,
Bu?
Ibu:
Ini gara-gara Bu Guru di
sekolah yang mengajarkannya, Yah. Kita harus mengadilinya.
Ayah:
Benar. Kita harus
mengadilinya. Dia telah mengatakan sesuatu yang salah kepada anak kita. Dia
pantas dihukum.
Budi:
Bu Guru itu tidak sama
seperti yang Ayah dan Ibu ucapkan. Beliau begitu mulia. Beliau telah jujur
mengatakan kebenaran dan beliau tidak takut mengatakan hal itu.
Ibu:
(marah) Diam! Kau masih
kecil dan tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan ini.
Budi:
Walaupun aku masih kecil
tapi mengatakan kebenaran adalah kewajiban bagi setiap manusia. Jika kebohongan
terus yang selalu diumbar-umbar demi kebaikan kelompok saja, bagaimana masa
depan bangsa ini mau maju.
Ayah:
(Menampar) Diam! Beraninya
kau melawan orang yang telah merawat dan membesarkanmu.
Budi:
Aku hanya menegakkan
kebenaran demi terciptanya keadilan. Dan aku akan tetap membela Bu Guru
walaupun nyawaku sebagai taruhannya, Ayah.
Ibu:
(Pergi mengambil tali)
Ayah:
Kini kau sudah berani
membangkang, semakin tinggi pendidikan yang kau terima, malah semakin berani
kau menantang aturan yang telah ada.
Ibu:
Ini, Yah. Kita ikat saja si
anak durhaka ini.
Ayah:
Baiklah. Jika memang inilah
cara yang terbaik, apa boleh buat. Ayo kita ikat dia, Bu.
(Ayah dan Ibu mulai menjerat
Budi erat-erat dengan tali kekang yang mereka punya. Budi pun memberontak
dengan hebat tapi tetap saja lemah dengan keadaan yang ada. Budi merasa
tersiksa karena tak dapat berbuat apa-apa untuk
membantu Bu Guru. Ayah dan Ibu tertawa dengan kencangnya karena
keberhasilannya mengikat Budi.)
Ibu:
Rasakan kamu. Inilah
ganjaran bagi anak yang tidak menaati peraturan yang telah ada dan memberontak
kekuasaan. Penyiksaan yang pedih. Ayah, mari kita habisi si Bu Guru yang telah
merusak semua ini.
Ayah:
Enaknya si Bu Guru itu
diadili dengan cara apa ya, Bu?
Ibu:
Bagaimana kalau kita
telanjangi dan diarak-arak keliling kampung. Itu kan sesuai dengan apa yang ia
ajarkan.
Budi:
(berteriak) Jangan! Kejam
sekali kalian.
Ayah:
Berisik sekali. Diam! Tutup
mulutnya yang berbisa itu, Bu. Jangan sampai ada orang yang mendengar. Bisa
kacau semua aturan yang telah ada ini. Ini, Bu (sambil mengeluarkan saputangan
dari kantung celananya)
Ibu:
Baiklah (mengambil
saputangan tersebut dan menutup mulutnya Budi dengan erat-erat).
(Terdengar suara rongrongan
yang tidak jelas dari mulutnya Budi dan disertai dengan gerakan Budi yang
mencoba melepaskan kekangan tali yang melingkari tubuhnya.)
Ayah:
Nah, ayah sudah tahu hukuman
apa yang pantas untuk Bu Guru tersebut.
Ibu:
(terkejut dan penasaran)
Hah? Apa, Yah, hukuman yang pantas untuk Bu Guru tersebut?
Ayah:
(tertawa) Haha...lihat saja
nanti, Bu. Ini adalah hukuman yang paling pantas untuk orang-orang yang berani
melakukan sesuatu semacam ini.
Ibu:
Ya sudah kalau begitu.
Ayah:
Ayo, Bu. Segera ajak
penduduk di lingkungan kita untuk mengadili Bu Guru tersebut.
Ibu:
Baik, Yah.
LAMPU PADAM
Adegan
VI
PANGGUNG GELAP. MUNCUL
ORANG-ORANG BERPAKAIAN HITAM SAMBIL MEMBAWA KAIN PUTIH MEMBENTANG PANJANG.
KEMUDIAN MEREKA BERLARI. BERTERIAK-TERIAK “HUKUM, HUKUM”. KEMUDIAN HILANG
SECARA PERLAHAN. SEPI SEJENAK.
LAMPU SOROT TERANG DARI
SEBELAH KIRI PANGGUNG.
(Bu Guru berjalan dari kiri
panggung dan diikuti oleh sorot lampu. Kemudian lenyap di sebelah kanan
panggung.)
LAMPU SOROT PADAM. PANGGUNG
GELAP DAN MUNCUL SUARA BURUNG HANTU. PANGGUNG SEPERTI MENCEKAM DAN DISERTAI
SUARA-SUARA HANTU.
LAMPU SOROT TERANG DARI SEBELAH
KIRI PANGGUNG. LAMPU MENYOROT BU GURU.
(Bu
Guru berjalan sendirian dengan tergesa-gesa. Namun, terjatuh saat sampai di
sisi kanan panggung. Bu Guru merasa kesakitan dan merasa ada yang terluka.
Kemudian, Bu Guru bangkit dan berbalik ke sisi kiri panggung.)
LAMPU TERANG MENERANGI SEMUA
AREA PANGGUNG. LAMPU SOROT PADAM.
(Bu Guru terkejut karena
melihat di depan matanya ada Ayah dan Ibunya Budi. Bu Guru bertambah kaget lagi
ketika dari arah belakangnya atau sisi kanan panggung , berlarian orang-orang
yang berpakaian hitam-hitam dan membawa palu hitam. Orang-orang itu berkerumun
di belakang Ayah dan Ibu.)
Ayah:
Bu Guru, semoga masih ada
orang yang mau menghormati Anda. Bu Guru telah salah, salah besar.
Ibu:
Bu Guru tidak menjunjung
tinggi nilai moral. Bu Guru seperti binatang yang mengajarkan keliaran pada anak-anaknya.
Bu
Guru:
Apa maksud kalian?
Ayah:
Bu Guru telah memberikan
sebuah kata yang tak pantas diketahui oleh anak kecil seperti Budi.
Ibu
Guru:
Kata? Kata apa yang salah
yang sudah saya ucapkan kepada Budi?
Ibu:
Jangan menjadi orang yang
munafik, Bu Guru.
Bu
Guru:
Entahlah itu. Mungkin saya
lupa. Manusia kan tak pernah luput dari lupa.
Ayah:
Liang. Sudah ingatkah
sekarang?
Bu
Guru:
Liang? Oh kata liang itu.
Saya rasa itu hal yang wajar. Budi bukan lagi anak kecil tetapi remaja. Remaja
yang penuh dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Lagi pula dia mengetahui kata itu dari temannya,
bukan dari saya. Itulah kecerdasannya. Dia pintar dan dia bukanlah kerbau yang
dicucuk hidungnya yang hanya akan ikut pada peraturan yang ada dan tak mengerti
mau diapakan nantinya dengan aturan itu.
Ibu:
Ibu memang pantas dihukum
karena mengatakan kebohongan yang telah merusak mental anak kecil seperti Budi.
Bu
Guru:
Merusak mental? Penjelasan
saya itu bukanlah merusak mental tetapi menambah wawasan baru baginya. Sebuah
kebenaran yang selalu ditutup-tutupi karena takut merusak kepentingan golongan
kalian. Kalian takut untuk mengungkap kebenaran itu dan hanya menutupinya dengan
beribu alasan kalian. Mau jadi apa dia di masa depan jika kebohongan selalu di
kedepankan.
(Kerumunan itu lalu berlari
mengelilingi Bu Guru dan berteriak-teriak. Namun, Bu Guru tak gentar. Dia tetap
berdiri tegak. Kerumunan lalu kembali ke belakang Ayah dan Ibu Budi.)
Ayah:
Itukah penjelasanmu? Apakah
kau tak memikirkan dampak buruk bagi anak itu? Bagaimana kalau nantinya Budi
menjadi Gigolo? Pernahkah kau memikirkan itu?
Bu
Guru:
Tak ada kebenaran yang
menyesatkan. Kebenaran akan membuat sebuah kejujuran dan memusnahkan
kebohongan. Masa depan Budi adalah urusan dia tetapi jika dia selalu diajarkan
kebenaran, niscaya jalan yang ia tempuh akan tetap lurus pada kodratnya.
Ibu:
Jangan munafik Bu Guru.
Jasamu memang mulia, tetapi sikapmu membuat martabatmu sirna.
Bu
Guru:
Kebenaran harus ditegakkan
karena ia tak dapat tegak dengan sendirinya. Saya tidak pernah merasa salah
terhadap yang saya ucapkan karena ucapan yang keluar dari mulut saya adalah
kebenaran, walaupun nyawaku sebagai taruhannya.
Ayah:
(tertawa
sekencang-kencangnya)
Ibu:
Ayah kenapa?
Ayah:
Memang. Memang hanya itulah
hukuman yang pantas untukmu, Bu Guru.
Ibu:
Hukumannya apa, Yah?
Ayah:
Kematian.
Ibu:
(tertawa
sekencang-kencangnya)
Ayah:
(tertawa
sekencang-kencangnya)
Bu
Guru:
Kalian bukanlah Tuhan yang
mampu menentukan mati hidupnya seseorang. Kalian ini adalah iblis.
Ayah:
Kalau begitu, aku yang akan
menjemput nyawamu saat ini. Serang dia!
(Kerumunan itu berlari
mengelilingi Bu Guru hingga yang terlihat hanyalah hitam. Kerumunan itu
berteriak-teriak dengan keras dan mulai memukul-mukulkan palu hitamnya ke arah
Bu Guru. Tak lama kemudian, keluar suara jeritan Bu Guru dengan begitu kencang.
Lalu, perlahan-lahan menghilang dan kini Bu Guru tergeletak lemah tak berdaya
menjemput ajal.)
Ayah:
Itulah yang pantas kau
dapatkan sesuai dengan apa yang kau lakukan.
Ibu:
Tidurlah selamanya dengan
tenang dan sesalilah semua perbuatan yang telah kau lakukan kepada kami.
LAMPU PADAM.
LAMPU SOROT TERANG DAN
MENYOROTI BU GURU.
Bu
Guru:
Apakah ini sebuah keadilan?
Semuanya samar, benar itu salah dan salah itu benar. Keadilan membutuhkan
kejujuran. Kejujuran membutuhkan kebenaran. Tapi kebenaran apakah membutuhkan
kematian? Tidak apalah aku mati demi menegakkan kebenaran. Semoga bunga
kebenaran akan bermekaran di tanah air Indonesia ini. Aku menyusulmu, Bapak,
Ibu. Tunggu aku di surgamu, Ya Rabbi. Asyhadualla illa ha illauloh,
Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah.
LAMPU REDUP
Adegan
VII
LAMPU
SOROT TERANG DAN MENYOROTI SEORANG WANITA DI SISI KIRI PANGGUNG YANG BERPAKAIAN
SERBA PUTIH.
(Seorang wanita keluar dari
sisi kiri panggung dengan rasa bingung dan heran. Wanita ini adalah Bu Guru.
Setelah mengitari seluruh area panggung, wanita ini berhenti diam di tengah
panggung dan menghadap ke sisi kiri panggung.)
LAMPU TERANG MENERANGI SEMUA
AREA PANGGUNG.
(Wanita ini berbalik badan
dan meneteskan air mata bahagia. Di depan matanya, ia melihat kedua orangtuanya
hidup kembali. Lalu, wanita itu berlari dan memeluk kedua orangtuanya itu.)
IMPROVISASI
Oleh:
Dwi Febri Setiawan
Best Casinos near Bellagio, CA
BalasHapusLooking for the closest 부산광역 출장안마 casino to Bellagio? Find it here. Bellagio Casino 아산 출장안마 Resort is 영주 출장샵 a beautiful city full 제주도 출장샵 of amazing 경상남도 출장마사지 sights and sounds, perfect